Beberapa tahun yang lalu, saat berjalan pagi dengan seorang tetangga, salah satu kaki saya tiba-tiba keseleo. Tetangga saya dengan berhati-hati membantu saya bangkit. Suatu kutipan dari buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan segera terlintas di pikiran saya. Demikianlah bunyinya: “Apabila terjadi suatu kecelakaan, kita berpikir atau berseru: ‘Saya luka!’… Sekarang balikkanlah proses pemikiran kita itu. Nyatakanlah, bahwa kita tidak luka, dan pahamilah alasan mengapa begitu …” (hlm. 397). Saya merenungkan kalimat tersebut dan dapat berjalan pulang tanpa kesulitan.
Meskipun demikian, hari itu kaki saya tidak membaik, malah bertambah parah. Kaki saya terasa sangat sakit dan bengkak. Saya mengandalkan doa untuk memperoleh kesembuhan, dan menyadari bahwa saya harus berdoa dengan tekun. Saya tahu bahwa saya harus menolak untuk menyerah kepada gambar mental tentang diri saya dengan kaki yang cedera—meskipun kelihatannya jelas demikian. Saya merasa bahwa kemampuan untuk menyatakan identitas rohaniah saya dan kebebasan saya dari cedera merupakan suatu hak ilahi. Hal itu merupakan bagian dari warisan saya sebagai anak Allah, kebaikan, yang penuh kasih. Saya terus berdoa dari titik tolak bahwa tidak ada yang dapat mengganggu hubungan saya dengan Pencipta ilahi saya, Ibu-Bapa saya.
Saya ingat saat itu berpikir bahwa mungkin semua yang ditulis Mary Baker Eddy menunjukkan bahwa kita perlu “membalikkan proses pemikiran”—yakni, menolak keadaan atau gejala fisik apa pun yang tidak selaras, sebagai suatu kesejatian. Ketika saya membuka Ilmupengetahuan dan Kesehatan untuk memperoleh lebih banyak pikiran yang menyembuhkan, saya menemukan kalimat ini: “Kita harus melihat ke arah ke mana kita ingin berjalan, dan kita harus bertindak sebagai memiliki segala kekuasaan dari Dia, yang di dalamNya kita ada” (hlm. 264). Saya tertawa dengan keras—tampaknya jelas saya tidak menyadari ke arah mana saya berjalan pagi itu. Meskipun demikian, dari pengalaman sebelumnya saya tahu bahwa bukan hanya mungkin bagi saya untuk “memiliki segala kekuasaan dari Dia.” Itu merupakan suatu fakta yang ilmiah dan dapat dibuktikan, yang didasarkan pada hukum kesehatan serta kesejahteraan Allah.
Hari itu saya terus berdoa seharian. Rasa sakit berkurang, dan sore harinya, meskipun kaki saya belum sembuh sepenuhnya, seorang teman mengantar saya dengan mobilnya untuk berbelanja dan membantu saya melakukan pekerjaan rumah tangga.
Keesokan harinya, hari Rabu, berbagai alasan timbul dalam pikiran saya untuk tidak menghadiri pertemuan kesaksian di gereja saya: mungkin sepatu saya tidak muat untuk kaki saya yang cedera, dan orang-orang akan berpikir bahwa saya harus mengatasi suatu keadaan yang serius. Meskipun demikian, saya sudah selalu yakin dan melihat bukti bahwa yang kita dapatkan secara mental dan secara rohaniah dari kebaktian yang kita hadiri sebanding dengan yang kita bawa secara mental dan rohaniah saat datang ke kebaktian itu.
Jadi saya pergi menghadiri kebaktian. Saya memutuskan untuk membawa serta ilham, alih-alih keterbatasan; sifat mudah menerima dan kerendahan hati, alih-alih kesadaran akan adanya masalah yang sedang saya atasi bersama Allah; itikad baik dan kasih kepada semua yang hadir, dan terutama rasa syukur—syukur akan kasih Allah kepada saya, demikian juga penghargaan tulus untuk semua kesembuhan yang telah kami alami.
Ternyata saya dapat memakai sepatu dengan mudah. Dan saya berjalan masuk dan keluar dari kebaktian tanpa pincang. Bengkak di kaki saya surut dan malam itu rasa sakit hilang sama sekali. Kegiatan jalan pagi saya mulai lagi sesudah beberapa hari, bersama dengan tetangga yang menemani saya saat saya jatuh. Dia berkata takjub, “Wah, doa Anda kepada Allah pasti benar-benar kuat.”
Akan tetapi, saya terus berdoa. Meskipun semua kelihatan normal, saya perlu mengatasi ketakutan yang tersembunyi bahwa sesuatu hal yang aneh mungkin menyebabkan kaki saya kehilangan kekuatannya. Beberapa kutipan dari Alkitab melawan diagnose diri yang agak suram dan sesat ini: “bukankah Dia yang menjadikan bagian luar, Dia juga yang menjadikan bagian dalam?” (Luk 11:40); dan “Keindahan belaka puteri raja itu di dalam” (Mzm 45:14). Saya bernalar, bahwa keakuan rohaniah manusia yang sesungguhnya bukanlah mengenai bangunan fisik atau anatomi. Mengapa bukan? Karena identitas rohaniah tidak ditentukan oleh yang disebutkan sebagai hukum-hukum fisiologi atau penyakit, mengingat manusia dalam wujudnya hanya mencakup substansi Roh, bukan zat. Dan karena Roh hanya diperintahi hukum Allah, dengan sendirinya manusia mencakup kebebasan bergerak, dan keselarasan serta fungsi yang sempurna.
Saya tidak mengalami kesulitan lagi dan kesembuhan itu permanen.
Los Angeles, California, AS