Ketika gempa Sumatra-Andaman menghantam, terjadilah tsunami dengan ombak setinggi lebih dari 30 meter yang menyebabkan banjir bandang di Indonesia dan beberapa negara lain, dan merupakan salah satu bencana alam terburuk yang pernah tercatat dalam sejarah. Beberapa waktu yang lalu hujan deras mengguyur dan menyebabkan banjir di Pakistan, yang kemudian membuat 20% daratan Pakistan terendam air. Bantuan kemanusiaan pun membanjir mengimbangi air bah tersebut. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa dalam kasus-kasus tersebut, seperti juga dalam kasus lainnya yang serupa, seluruh umat manusia sibuk berupaya, berharap, dan berdoa agar bantuan datang ke lokasi pada waktunya.
Apakah yang memicu kebersamaan ini, seakan umat manusia merupakan satu keluarga yang bersatu? Hal itu menyangkut empati dan simpati, dan kasih sayang manusiawi. Tetapi adakah sesuatu yang bahkan lebih mendasar, yang merupakan hakikat dari perhatian yang dicurahkan umat manusia itu? Kami yakin bahwa pengaruh ilahi, roh Kristus, yang tertanam di setiap kalbu manusialah yang menimbulkan respon seperti itu. Semangat ini, semangat Kasih, persatuan dan persaudaraan adalah sesuatu yang wajar bagi setiap orang di planit ini. Hal itu ada di dalam diri kita semua orang, termasuk umat Kristiani, maupun bukan-Kristiani. Dan hal itu membantu menjelaskan bagaimana perhatian yang tercurah dari seluruh dunia itu dapat memberikan dampak kepada sesuatu yang memerlukan bantuan.
Tentu saja ada sisi lain dari kisah itu. Banyak peristiwa lain, yang sangat memerlukan semangat perasaudaraan dan persatuan, tetap saja menolak uluran tangan, curahan bantuan, janji akan kesembuhan. Kita dapat mengingat dua hal sebagai contoh: kegetiran serta ketidakpercayaan timbal balik yang terkadang ditemukan di arena politik Amerika Serikat, dan sifat kaku dalam bernegosiasi untuk mewujudkan perdamaian yang menyeluruh di Timur Tengah. Permusuhan yang diakibatkan kekerasan hati yang terajut melalui konflik-konflik ini terus terulang di berbagai tempat utama di seluruh dunia. Dapatkah semua itu benar-benar mematahkan kuasa Kristus yang menyembuhkan dan menjembatani perbedaan? Dapatkah semua itu mematikan Roh saling mengasihi di antara anak-anak Allah?
Tidak mungkin. Salah satu perumpaan Yesus yang paling disukai orang adalah tentang orang Samaria yang baik (lihat Lukas 10:30-37). Yesus memberikan kisah pendek ini sebagai jawaban atas pertanyaan, siapakah sesama kita? Sang Guru berceritera tentang orang yang jatuh di tangan perampok, hartanya dirampas dan dia dipukuli. Tiga orang yang berkesempatan membantunya berjalan lewat tempat itu. Orang pertama dan kedua memilih untuk tidak melibatkan diri. Yang ketiga, orang Samaria, “tergeraklah hatinya oleh belas kasihan,” merawatnya, dan menyerahkannya kepada seorang pemilik penginapan yang baik untuk merawatnya. Apakah pemilik penginapan tersebut merupakan tokoh yang paling tidak menonjol dalam perumpamaan tersebut? Mungkin saja. Tetapi kisahnya, dalam konteks yang lebih luas tentang orang Samaria itu, menunjukkan sesuatu yang penting. Karena, sementara dia mempercepat kesembuhan serta menunjukkan sifat persaudaraan, dia tidak mengalami kerugian dalam proses itu. Kebutuhannya juga terpenuhi. Apakah perumpamaan itu mengajarkan bahwa menyatakan kasih Kristus dengan
cara yang konkrit dan praktis tidak merugikan kita? Berusaha menyembuhkan perpecahan tidak menguras hidup kita? Jika demikian, ini adalah jawaban yang menyembuhkan bagi apa yang seringkali disebut sebagai “kelelahan dalam menyatakan kasih sayang.” Tidak seorang pun perlu merasa kelelahan dalam upaya mengasihi dan menolong sesama. Setiap orang dapat terus berusaha menjembatani perbedaan yang bersifat politis atau budaya dan mendorong persatuan, mendorong kesembuhan.
Penyembuhan, penyelarasan, pengaruh yang mempersatukan, yang didatangkan Kristus tidak selamanya dapat dilawan. Permusuhan tidaklah merupakan pilihan. Demikian juga tidak melibatkan diri. Kuasa Kristus yang merubah dunia senantiasa bekerja, mengakhiri kegetiran, menjembatani jurang pemisah, menyembuhkan keretakan, merawat yang ditindas, seorang demi seorang.
Mary Baker Eddy mengabdikan hidupnya bukan hanya untuk mengikuti sabda Sang Guru, tetapi juga menirukan karya penyembuhannya. Ny. Eddy melihat hal ini sebagai sesuatu yang benar-benar mungkin, sesuatu yang wajar bagi orang yang peduli, termasuk yang tidak memiliki keahlian berdiplomasi. Dalam bukunya, Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, Ny. Eddy merujuk karya Sang Guru: “Seperti dahulu, sekarang pun pekerjaan agung ini bukan melebihi yang wajar, melainkan adalah sangat wajar. Hal itu ialah tanda Imanuel, atau ‘Allah menyertai kita’ — suatu pengaruh ilahi, yang senantiasa hadir di dalam kesadaran insani, berulang-ulang menyatakan diri, dan yang kini datang sebagai telah dijanjikan dahulu kala,
Untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan [tawanan pancaindera],
Dan penglihatan bagi orang-orang buta,
Untuk membebaskan orang-orang yang tertindas” (hlm. xi).
Sementara konfrontasi demi konfrontasi yang merugikan terjadi di planit ini, sungguh membesarkan hati—dan lebih dari itu, sungguh membawa perubahan—untuk menyadari bahwa pengaruh ilahi Kristus hadir saat ini, bekerja saat ini. Sentuhan penyembuhan Kristus terulur bukan hanya kepada mereka yang memerlukan. Hal itu juga terulur kepada mereka yang berusaha memenuhi kebutuhan tersebut, seperti yang terjadi saat perumpamaan tentang orang Samaria yang baik pertama kali disampaikan. Janji penyembuhan Kristus tidak pernah akan berhenti. Pengaruh ilahi Kristus sesungguhnya “senantiasa hadir di dalam kesadaran insani.” Sadarilah hal ini di dalam doa, maka tak dapat tiada hal itu akan mendorong kesembuhan luka dan menjembatani jurang pemisah.