Di musim semi tahun 1978 ada semacam eksim di kulit kepala saya yang akhirnya menjadi keropeng. Terkadang tempat itu terasa sakit dan mengganggu, terutama saat terkena matahari musim panas, atau saat saya mencuci rambut.
Selama beberapa bulan saya berdoa mengenai keadaan tersebut tetapi tidak membuahkan hasil. Saat itu keluarga saya menganjurkan agar saya pergi ke dokter. Waktu saya mengatakan bahwa saya ingin mengatasi masalah tersebut dengan doa, seperti yang telah saya lakukan saat saya memerlukan penyembuhan, mereka menganggap saya bodoh atau keras kepala.
Meskipun demikian, suatu ketika saya menjadi sangat khawatir karena tidak ada kemajuan, sehingga saya membuat janji dengan seorang dokter kulit untuk mengetahui nama penyakit itu. Seminggu kemudian saya membatalkan janji itu setelah membaca pernyataan ini pada halaman 234 buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan: “Minuman yang rohaniah menyembuhkan, sedangkan obat cair yang kebendaan merintangi kebenaran, seperti upacara keagamaan dan pengakuan keimanan pun mengalangi kerohanian. Jika kita mempercayai zat, kita tidak mempercayai Roh.”
Diilhami oleh pernyataan tersebut dan pernyataan lain yang saya dapati dalam Alkitab dan Ilmupengetahuan dan Kesehatan, saya mulai meluangkan lebih banyak waktu untuk berdoa dan mempelajari pelajaran Alkitab dengan lebih tekun daripada sebelumnya. Saya memeriksa pikiran saya setiap hari dan mendengarkan bimbingan ilahi. Dan saya sadar telah begitu terbiasa dengan rutinitas saya sehingga untuk beberapa lama seakan tidak melihat Allah dan identitas saya yang bersifat rohaniah. Misalnya, setiap hari Minggu, saya akan bangun pagi-pagi, pergi ke taman di dekat rumah untuk main tenis, makan siang bersama keluarga, lalu menghadiri kebaktian sore hari di salah satu cabang Gereja Induk di kota New York. Tetapi, seringkali di tengah-tengah kebaktian saya merasa lelah dan tidak dapat berkonsentrasi, terutama saat Khotbah Pelajaran dibacakan.
Pada bulan-bulan berikutnya, saya memasukkan majalah Sentinel dan/atau Journal dalam tas kerja saya dan membaca artikel atau kesaksian penyembuhan dari majalah itu saat makan siang. Terkadang saya juga membawa halaman-halaman yang saya gunting dari buku Nyanyian Ilmupengetahuan Kristen, dan saya akan menghafal beberapa nyanyian kesukaan saya. Pada kesempatan lain saya juga mengunjungi Ruang Baca Ilmupengetahuan Kristen, di mana saya dapat mempelajari Pelajaran Alkitab Ilmupengetahuan Kristen untuk minggu itu, atau membaca artikel dari salah satu majalah atau dari surat kabar The Christian Science Monitor.
Pada kurun waktu itu saya juga mulai lebih menyatakan rasa syukur untuk semua yang saya pelajari sebagai bagian menyeluruh dari proses penyembuhan saya. Saya ingat ceritera Alkitab saat Yesus menyembuhkan sepuluh orang yang sakit kusta (lihat Lukas 17:12–19). Hanya satu orang yang kembali dan mengucapkan terimakasih kepada Yesus. Yesus bertanya kepadanya,
“Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu?” Mary Baker Eddy juga menekankan pentingnya bersyukur. Pada halaman 3 buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan, dia bertanya, “Sungguh-sungguh bersyukurkah kita untuk kebaikan yang sudah kita terima? …. Bersyukur hati adalah jauh lebih daripada mengucapkan terima kasih dengan kata-kata saja. Perbuatan lebih menyatakan rasa syukur daripada perkataan.”
Salah satu cara saya menyatakan rasa syukur dengan lebih nyata adalah memutuskan untuk melunasi seluruh sisa pinjaman mahasiswa saya. Pinjaman ini, yang telah membantu saya mengatasi masalah keuangan, merupakan suatu paket pinjaman dari pemerintah AS dengan bunga rendah, hibah, dan program karya pendidikan. Meskipun secara teratur saya mengangsur pelunasannya, pada suatu hari saya merasa begitu bersyukur bahwa dana itu tersedia bagi saya saat saya membutuhkannya dan saya berpikir dengan melunasi sisanya, dana tersebut dapat digunakan untuk membantu mahasiswa lain yang mencari bantuan keuangan. Beberapa minggu kemudian saya menerima surat dari kepala tata-usaha yang menangani pinjaman, menyatakan terimakasih atas pelunasan itu dan mengatakan bahwa sangat jarang orang melunasi pinjamannya sekaligus.
Saya juga mengatur kembali jadual kegiatan harian saya, dan mengutamakan Allah dalam hidup saya. Saya mulai menghadiri kebaktian hari Minggu di pagi hari, alih-alih pada sore hari, dan mendapati bahwa kebaktian itu lebih mengilhami daripada sebelumnya karena saya lebih memberikan perhatian. Dan saya lebih mematuhi Perintah Allah yang ke-empat, “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat” (Kel 20:8). Sedang saya meluangkan lebih banyak waktu setiap hari untuk merenungkan Firman Allah, ketakutan saya berkurang dan saya merasa lebih percaya bahwa doa saya akan dikabulkan. Saya meneguk lebih banyak “minuman yang rohaniah” (ilham) dan belajar untuk lebih percaya kepada Allah dan kurang percaya kepada zat.
Lalu pada suatu sore, saat sedang menyisir rambut, saya perhatikan bahwa sebagian keropeng itu jatuh mengelupas. Selama beberapa hari berikutnya, proses ini berlanjut, sampai seluruh bagian yang berkeropeng sama sekali bersih, tanpa meninggalkan bekas luka.
Saya sangat bergembira dan merasa lega atas kesembuhan yang terjadi pada saat yang tepat ini, karena saya sedang mulai menjalani wawancara untuk mendapatkan pekerjaan berhubung perusahaan di mana saya bekerja akan tutup.
Atas kesembuhan ini dan banyak lagi yang lain, saya sungguh sangat bersyukur kepada Allah, kepada Kristus Yesus, dan kepada Ny. Eddy, yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk memberi kita gereja yang menegakkan kembali “Kekristenan yang asli serta unsur penyembuhannya yang telah hilang” (Mary Baker Eddy, Buku Pedoman Gereja, hlm. 17).
Stamford, Connecticut, AS