Makanan yang cukup untuk seluruh keluarga. Rumah untuk tinggal. Uang untuk membayar tagihan. Kesehatan yang harus dipelihara. Ide-ide untuk mengilhami dan membimbing.
Apapun keadaannya, setiap orang mencari sesuatu bentuk perlengkapan setiap hari.
Seringkali, apa yang kita perlukan seakan jauh dari jangkauan, sesuatu yang harus kita cari dan dapatkan di luar diri kita sendiri. Pendekatan ini menjadikan hidup suatu proses yang berkelanjutan untuk mendapatkan sesuatu. Tetapi benarkah ini merupakan sifat dan proses dari perlengkapan?
Ketika saya tumbuh dewasa, seorang teman keluarga yang baik, seorang wanita dengan wawasan rohaniah yang dalam, sering memberi semangat kepada kami dengan mengatakan, “Cakuplah apa yang Anda perlukan di dalam wujud Anda.” Saya harus mengakui, bahwa saat itu saya sama sekali tidak memahami maksudnya.
Teman saya itu sering berceritera tentang seorang perempuan yang hidup jauh di masa lalu, di wilayah yang sekarang disebut Timur Tangah. Karena suaminya meninggal, dan meninggalkannya dengan banyak hutang, para kreditor berencana mengambil kedua anak laki-lakinya sebagai bayaran dan menjual mereka sebagai budak. Kita dapat membayangkan kesedihan yang dirasakan perempuan itu saat menghadapi kemungkinan kehilangan seluruh keluarganya. (2Raj 4:1-7)
Dia minta tolong kepada nabi Elisa, dan nabi itu mengajukan suatu pertanyaan yang sangat dalam: “Beritahukanlah kepadaku apa-apa yang kaupunya di rumah.” Perempuan itu menjawab bahwa satu-satunya yang dimilikinya adalah sebuah buli-buli kecil berisi minyak.
Elisa menganjurkan perempuan itu untuk meminjam sebanyak mungkin bejana dari tetangganya. Saat perempuan itu melakukannya, minyak itu bertambah-tambah dan memenuhi semua bejana yang tersedia. Sebagai hasilnya perempuan itu dapat menjual minyaknya, membayar hutangnya, dan hidup dari uang yang tersisa. (Sangatlah menarik, bahwa suatu sumber kuno menyatakan bahwa suami perempuan tersebut adalah nabi Obaja, yang mula-mula terlibat hutang tersebut karena dia menyelamatkan nyawa banyak nabi, lalu harus berhutang untuk memberi makan mereka).
Hal paling bermanfaat yang menonjol bagi saya dalam ceritera itu adalah pertanyaan, “Beritahukanlah kepadaku apa-apa yang kaupunya di rumah.”
Sedang tahun-tahun berlalu, saya telah belajar mengajukan pertanyaan tersebut setiap kali memerlukan sesuatu. Saya telah belajar menolak godaan untuk merasa bahwa yang saya perlukan ada di luar “rumah” saya, atau—sebagaimana didefinisikan Mary Baker Eddy—kesadaran saya. Tak dapat disangkal, apa pun yang saya perlukan, pemenuhannya selalu tersedia di dalam wujud saya, bukan di luarnya.
Salah satu definisi yang bermanfaat mengenai kata “wujud” adalah “pengetahuan yang sadar.” Definisi ini telah membantu saya melihat bahwa anjuran teman saya untuk “mencakup apa yang Anda perlukan di dalam wujud Anda” berarti menyadari bahwa pemenuhan akan apa pun yang kita perlukan sudah ada di dalam wujud kita, di dalam pengetahuan kita yang sadar.
Dengan perkataan lain, seperti perempuan yang mengetahui bahwa dia memiliki buli-buli berisi minyak, selalu ada sesuatu yang sudah kita sadari, yang dapat diperbanyak untuk memenuhi keperluan kita.
Sangatlah membantu untuk menyadari bahwa dalam ceritera Alkitab ini, minyak melambangkan sesuatu yang lebih bersifat substansi daripada cairan yang berharga saja. Dalam Alkitab, minyak sering digunakan untuk melambangkan kasih kepada sesama atau pembaktian. Jelaslah, bahwa jika suami perempuan ini adalah nabi Obaja, pasangan tersebut penuh pengabdian dan pembaktian dalam kasih mereka kepada Allah—mereka telah mengorbankan semua milik mereka untuk membantu sesama yang juga penuh pembaktian.
Kualitas pikiran seperti itu, yang sudah merupakan bagian hidup mereka, dapat diperbanyak. Dan hal ini berlaku untuk semua orang.
Apa pun keperluannya, setiap orang memiliki sesuatu yang bersubstansi yang dapat diperbanyak. Dan saat kita menyadari bahwa substansi ini adalah suatu ide, maka kita tidak perlu mencari kesana-kemari untuk menemukan hal-hal kebendaan yang mungkin kita miliki—kita dapat mendengarkan ide-ide yang akan membimbing kita untuk melihat apa yang sudah kita miliki guna memenuhi keperluan itu.
Adalah jelas bahwa kita tidak dapat memperbanyak sesuatu yang tidak ada, oleh karena itu penting untuk mengetahui bahwa perbanyakan persediaan diawali dengan menyadari hal yang sudah tersedia di dalam kesadaran.
Apa yang menjadikan kita tahu atau sadar akan yang sudah kita miliki? Ini bukan suatu proses senam mental. Memahami bahwa ada suatu kecerdasan ilahi, atau Budi, yang sadar akan semua ciptaannya merupakan awal dari kesadaran yang semakin berkembang.
Mary Baker Eddy, yang menemukan Ilmupengetahuan Kristen, menyelidiki dengan sangat mendalam wujud Allah dengan mempelajari Alkitab dan melalui pekerjaan penyembuhannya. Dia menyadari betapa pentingnya memahami Allah sebagai Budi, yang menyatakan dirinya sendiri dalam kecerdasan ilahi yang sadar akan semua yang diciptakannya.
Menjelaskan kemampuan Budi ini untuk sadar dan bertambah banyak, Mary Baker Eddy menulis: “Budi yang tidak berhingga menciptakan dan memerintahi segala-galanya, dari molekul yang bersifat mental sampai kepada ketidakberhinggaan. … Ciptaan terus-menerus menjadi nyata dan harus untuk selama-lamanya terus-menerus menjadi nyata karena sifat sumbernya yang tidak habis-habisnya. Penanggapan fana membalikkan penyataan ini dan menyebut ide sebagai bersifat kebendaan. Disalahtafsirkan secara demikian, maka ide ilahi rupanya jatuh ke tingkat suatu kepercayaan insani atau kebendaan, yang kita sebut manusia fana. Tetapi biji hanya berbiji di dalam dirinya sendiri, apabila Budi ilahi adalah Semua dan mengadakan semua — apabila Budi inilah yang memperbanyak, dan ide yang tidak berhingga Budi ini, yakni manusia dan alam semesta, adalah hasilNya” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 507).
“Biji yang berbiji di dalam dirinya sendiri” adalah suatu penegasan lain bahwa Allah menyediakan di dalam diri setiap orang apa yang perlu dan berguna untuk mendapatkan pemenuhan dan kepuasan. Memandang di kedalaman Budi ilahi ini, kita mendapati bahwa Budi ini menyatakan kepada kita apa yang sudah kita miliki.
Di awal karir saya, saya mempunyai keinginan besar untuk membantu sesama memahami dan menyadari Allah dalam kehidupan mereka. Saya ingin menjadi bagian dari pelayanan yang dapat merubah dunia.
Meskipun maksud saya baik, saya sama sekali tidak memiliki tabungan dan tidak ada permintaan dari orang lain untuk menggunakan jasa saya. Tetapi kata-kata yang saya dengar sewaktu kecil selalu terngiang: “Cakuplah keperluan Anda di dalam wujud Anda.”
Saya mengatakan pada diri sendiri bahwa apa pun yang saya miliki dalam diri saya adalah yang disertakan Allah, Budi, dalam diri saya dan dapat diperbanyak. Suatu petikan dari nyanyian yang saya hafal, terus terngiang: “Kiranya ada baktiku, tiap hari / beramal pada umatMu ….” (Buku Nyanyian Ilmupengetahuan Kristen, no 256). .”
Saya sadar bahwa yang tercakup dalam pikiran saya adalah doa tersebut, dan doa tersebut dapat diperbanyak. Keinginan saya untuk melayani, untuk menyatakan kebaikan setiap hari bagi sesama demi kemuliaan Allah, dapat diperbanyak. Saya berdoa dengan ide tersebut setiap hari.
Dalam waktu yang sangat singkat, saya menerima cek dari sumber yang sama sekali tidak saya kenal dan tidak terduga, yang dapat menutup keperluan saya bulan pertama. Dan doa tersebut tidak pernah berhenti memenuhi keperluan saya. Hal ini benar-benar seperti minyak dalam buli-buli itu—tidak berhenti memenuhi keperluan saya. Setiap sen, setiap kesempatan yang pernah datang kepada saya, telah datang dari “biji yang berbiji di dalam dirinya sendiri.”
Catatan menarik lain mengenai ceritera Alkitab tersebut: produksi minyak hanya dibatasi oleh jumlah bejana yang tersedia untuk menerimanya. Mungkin ini menjadi hal yang perlu dipelajari sehubungan dengan ide mengenai persediaan yang datang dari dalam diri kita—sediakan selalu bejana-bejana yang memungkinkan perbanyakan yang berkelanjutan akan kebaikan.
Bagi saya, “bejana-bejana” tersebut adalah keadaan pikiran yang mendukung kebaikan: rasa syukur, pengharapan, sifat tidak mementingkan diri sendiri, penyerahan diri. Dari sudut pandang tersebut, kita dapat melihat bahwa satu-satunya pembatasan atas persediaan Budi yang tidak berbatas adalah kekurangan bejana seperti itu, suatu pemikiran yang miskin.
Alkitab senantiasa memberikan jaminan kepada kita bahwa kebaikan Allah terus-menerus mengikuti kita, mencari kita, jika kita bertekad diam “dalam rumah,” kesadaran, “TUHAN sepanjang masa” (Mzm 23:6).
Tidak ada kekayaan yang melebihi apa yang sudah terkandung di dalam diri kita—pengenalan kita yang sadar akan kebaikan yang disediakan Allah.