Sangatlah mudah menyukai ide tentang malaikat, mungkin kita membayangkannya sebagai wujud-wujud bersayap atau pelindung yang manis atau sesuatu yang melakukan pembalasan bagi kita atau sebagai bentara. Sebenarnya malaikat adalah salah satu dari karunia Allah yang tidak terbilang banyaknya kepada setiap orang di antara kita: intuisi rohaniah yang datang langsung dari Allah, yang dapat kita pahami dan kita tindak-lanjuti. Dalam buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan, Mary Baker Eddy menjelaskan malaikat sebagai “Pikiran Allah, yang datang kepada manusia; intuisi rohaniah — murni dan sempurna; ilham akan kebaikan, kemurnian, dan kebakaan, yang bekerja meniadakan segala kejahatan, sifat berhawa nafsu, dan kefanaan” (hlm. 581).
Adalah hak kita, sifat kita yang hakiki, sebagai gambar dan keserupaan Allah untuk memahami Allah dan apa yang disampaikanNya kepada kita. Malaikat mewakili berbagai cara Allah berbicara kepada kita—selalu dengan cara yang dapat kita pahami dan gunakan. Karena kita tidak dapat keluar dari ciptaan Allah, maka kita tidak pernah dapat terpisah dari ilhamNya.
Karena Allah mahakuasa dan maha-mengetahui, setiap orang selalu dipikirkanNya. Pekerjaan memelihara seluruh ciptaan dengan sempurna tidaklah terlalu berat bagiNya. Dan kita, yang sangat penting bagi ciptaanNya, tidak dapat pergi ke tempat di mana kita tidak memiliki akses penuh kepada Allah. Setiap saat, Allah memberikan ilham serta bimbingan yang kita perlukan.
Tetapi mungkin diperlukan praktek, agar kita dapat menyadari dan mudah menerima ilham rohaniah ini. Seringkali perhatian kita terganggu, karena mendengarkan serta memikirkan begitu banyak hal yang lain.
Sebagai contoh: Saya keluar rumah dan berbicara dengan seorang teman. Pembicaran kami merupakan bagian dari suara yang saya dengar. Saya juga dapat mendengar lalu-lintas di jalan raya, angin berhembus di pohon-pohon, helikopter terbang melintas, deburan ombak yang jauh, suara burung, orang-orang di seberang rumah. Semua suara itu ada di sekitar saya, tetapi saya tidak selalu “mendengar” setiap suara. Apa pun yang secara khusus saya dengarkan saat itu, untuk sementara mengalihkan perhatian saya dari suara-suara lainnya.
Bagaimana dengan suara Allah—pesan-pesan malaikat yang ingin sekali saya dengar? Sebagaimana saya dapat memilih suara apa yang akan saya perhatikan, demikian juga saya dapat memilih suara yang ingin saya dengarkan dalam pikiran saya. Apakah saya mendengarkan pikiran-pikiran tentang kesedihan, rasa sakit, kemarahan, kejengkelan, iri hati, keputusasaan, kasihan pada diri sendiri, ketidakberdayaan? Atau, apakah saya memberi tumpangan kepada malaikat di dalam pikiran saya? Seandainya saya membiarkan pikiran-pikiran negatif menenggelamkan suara Allah yang murni dan sempurna, maka saya dapat berhenti melakukan hal itu dan dengan sadar memilih untuk mendengarkan Allah. Ada kalanya hal ini terasa sulit, karena ketakutan atau rasa sakit atau amarah seakan berkuasa atau mengalahkan segalanya. Tetapi setiap kali saya berpaling kepada Allah, pada saat berikutnya terasa lebih mudah untuk berpaling kepadaNya. Allah tidak pernah terlalu sibuk di tempat lain, dan setiap orang cukup penting untuk mendapatkan suara Allah. Bimbingan ilahi tidak diperuntukkan bagi orang-orang “khusus” atau pada saat-saat “khusus.”
Di dunia di mana materialisme seakan merupakan norma yang berlaku dan malaikat suatu hal yang mustahil, berikut ini beberapa contoh, yang membuktikan dalam kehidupan sehari-hari kuasa, kehadiran, dan kesejatian praktis malaikat.
- Saat itu jam 2 pagi dan saya berada sendiri di rumah yang terpencil. Saya dibangunkan oleh seseorang yang menggedor pintu. Di tangga saya melihat seorang pria yang sebetulnya tidak saya kenal. (Dia bekerja di toko yang sering saya datangi.) Kelihatannya dia mabok, dia berlumuran darah, dan dia memegang senjata.
- Saya sedang dalam perjalanan dengan bis ekspres Greyhound. Perhentian berikutnya masih beberapa jam lagi. Seorang pria muda mulai berjalan mondar-mandir di lorong bus, berteriak dan mengoceh, dan kadang-kadang meninju langit-langit bis. Para penumpang lain sangat ketakutan—tidak seorang pun tahu harus berbuat apa, dan kekerasan itu mulai meningkat.
- Saya pulang mengendarai mobil melalui jalur Cascade Mountain. Lalu-lintas dari kedua arah padat. Di depan saya seorang pria muda mengayuh sepeda di bahu jalan yang lebar dengan kecepatan tinggi, meskipun tidak secepat mobil yang lewat. Saya memutuskan untuk mengurangi kecepatan, sampai merasa leluasa untuk menyalipnya.
Saya menganggap bahwa yang terjadi sesudah masing-masing peristiwa itu merupakan bukti bahwa malaikat, pikiran Allah, senantiasa tersedia bagi saya.
Pada peristiwa yang pertama, saat seseorang menggedor pintu, ketika saya mendengarkan suara Allah, saya tahu tanpa ragu, bahwa hal yang patut saya lakukan adalah mengundang orang itu masuk dan berusaha menolongnya—meskipun kearifan yang konvensional mungkin menyarankan respon yang berbeda. Ternyata orang itu terlibat dalam perkelahian di bar dan merasa lelah dengan kehidupannya. Pada dasarnya ia menganggap hidup ini sia-sia, sesuatu yang “dipelajarinya” saat dia bertugas di tiga peperangan. Dia merasa bahwa bunuh diri merupakan satu-satunya pilihan, dan dia sedang akan melakukan hal itu ketika datang ide untuk berhenti dan berbicara kepada saya terlebih dahulu. Saya membantunya dengan mendengarkan, membebat lukanya, dan menawarkan makan baginya.
Pada peristiwa yang kedua, dalam bis, karena saya tahu bahwa Kasih mahakuasa, dan bahwa ketakutan serta kebencian bukanlah sesuatu, maka saya menegaskan kebenaran itu dan mempraktekkannya. Dengan menutup mata dan menyandarkan kepala di jendela, saya mendengarkan Allah, alih-alih ocehan pria itu, untuk mendapatkan bimbingan. Saya turun di perhentian berikutnya, dan saat itu pria tersebut dikeluarkan dari bis. Dia menghampiri saya dan bertanya mengapa saya tidak takut kepadanya. Dia mengatakan bahwa membuat orang lain takut adalah satu-satunya cara untuk berkuasa, untuk menjadi seseorang. Pertemuan itu berkembang menjadi percakapan yang menarik dan saya menjelaskan keyakinan saya bahwa Kasih adalah satu-satunya kuasa yang sesungguhnya dan merupakan suatu pendekatan yang lebih berhasil dan memuaskan dalam hubungan antar manusia.
Dari ketiga pengalaman itu, pengalaman di gunung merupakan favorit saya. Saya memutuskan untuk mengurangi kecepatan tanpa alasan yang saya sadari. Bahkan, menurut logika hal itu terasa konyol, mengingat bahu jalan cukup lebar. Tetapi saya mengikuti bimbingan tersebut, karena bagi saya itu merupakan pesan malaikat. Ternyata, saat saya mengurangi kecepatan, dan karena itu semua kendaraan di belakang saya juga melakukannya, ban pengendara sepeda itu pecah. Si pengendara berusaha mengendalikan sepedanya, tetapi tergelincir ke jalan yang dilalui mobil. Karena kecepatan mobil saya sangat pelan, saya dapat berhenti dan tidak menabraknya.
Saya menepi dan menunggu bersama pria itu selama beberapa menit, sampai teman-temannya datang. Sepedanya ringsek, tetapi satu-satunya cedera yang dialaminya adalah lecet di kakinya. Baru setelah melanjutkan perjalanan, saya sadar betapa kejadian itu menunjukkan kehadiran malaikat bagi kami berdua. Saya hanya merasa diilhami untuk menuruti pesan-pesan Allah, dan dengan tidak terelakkan, keselarasan pun dinyatakan.
Pikiran-pikiran Allah selalu datang kepada kita, selalu merupakan bagian dari pikiran kita, memberi kita kearifan dan keselarasaan. Kita berhak untuk mendengar dan menuruti malaikat-malaikatNya, dan melihat hasilnya dalam pengalaman kita saat ini. Dalam buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan, Ny. Eddy menulis tentang Yesus, “Ia diilhami oleh Allah, oleh Kebenaran dan Kasih, dalam semua yang dikatakan dan diperbuatnya” (hlm. 51). Kita semua dapat menjadikan ketaatan serta memperoleh ilham yang sempurna ini sebagai tujuan kita.
Intuisi rohaniah adalah bagian yang wajar dari pengalaman kita setiap hari. Semakin kita berusaha mendengarkan suara Allah yang “kecil dan halus,” semakin mudah kita membungkam pikiran negatif yang gaduh tetapi pada akhirnya tidak berdaya, yang hendak menenggelamkan keselarasan. Dan saya belajar mengetahui, bahwa ini bukan bertujuan untuk mencapai kesempurnaan insani, melainkan berusaha untuk semakin memahami kesempurnaan rohaniah kita saat ini, yang mencakup akses kepada intuisi rohaniah dan ilham. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa kita terus-menerus, dengan sukacita, dan secara tidak terelakkan, dikelilingi pasukan-pasukan malaikat.