Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Editorial

Jadilah seorang pemberi

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 1 Juni 2011

Diterjemahkan dari Christian Science Sentinel, edisi 17 Januari 2011


Di dunia di mana jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin sering kali begitu nyata dan terasa menyakitkan, upaya kemanusiaan  yang dilakukan beberapa orang terkaya di dunia, merupakan sesuatu yang sangat baik. Dua di antara orang terkaya di Amerika, Bill Gates dan Warren Buffett, telah memulai suatu upaya akar rumput yang mereka namakan The Giving Pledge (Ikrar untuk Memberi), guna mendorong teman-teman mereka mendermakan setidaknya setengah dari kekayaan mereka demi kebaikan keluarga umat manusia secara global. Sampai saat ini Warren Buffett telah berjanji untuk memberikan 99 persen dari kekayaannya yang berjumlah $45 milyar dan Bill Gates berjanji memberikan sebagian besar hartanya yang bernilai $54 milyar.

Ikrar ini, menurut mereka, sebagaimana dilaporkan Monitor, “bukanlah upaya untuk menggalang sumber daya atau memupuk dana untuk sesuatu perkara. Ini semata-mata merupakan komitmen moral untuk memberi.”

Mari kita renungkan hal ini: suatu komitmen moral untuk memberi. Ini mungkin diawali dengan upaya akar rumput yang didasarkan pada kasih kepada sesama. BBC melaporkan bahwa “Index Pemberian Dunia” membuat daftar peringkat negara-negara berdasar kedermawanan mereka kepada dunia, bukan hanya dalam bentuk uang, tetapi juga waktu untuk kegiatan sukarela atau membantu orang yang tidak dikenal. Menurut Index ini, Australia dan New Zealand ada di urutan  teratas, Amerika Serikat di urutan ke-lima dan Inggris di urutan ke-delapan. Mungkin mengherankan, tetapi beberapa negara miskin seperti Sri Lanka, Guyana, dan Turkmenistan masuk di peringkat atas dalam hal memberi—dan juga mencatat tingkat kepuasan hati yang tinggi.

Meskipun demikian “komitmen moral” menyangkut sesuatu yang lebih dalam daripada kebaikan insani semata—suatu kualitas pikiran yang berakar pada pengembangan rohaniah. Hal ini mengingatkan kita kepada dua kisah Alkitab, mengenai pertemuan dua orang dengan Yesus, yang menghasilkan dua hal yang berbeda.

Orang yang pertama adalah Zakheus, seorang kepala pemungut cukai yang “sangat kaya.”  Zakheus tidak membiarkan sesuatu  pun merintanginya untuk melihat Yesus—dan, boleh dikatakan merintanginya untuk membiarkan Kristus,  “roh Allah, roh Kebenaran, Hidup, dan Kasih, yang menyembuhkan secara mental,” untuk merubah wataknya  (Mary Baker Eddy, “Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci,” hlm. 137). Seperti seorang anak yang penuh sukacita, dia memanjat pohon hanya untuk dapat melihat Yesus sekilas. Kemudian dia naik “lebih tinggi” lagi, ke tempat di mana kepercayaannya dan tindakannya yang paling disukainya siap untuk dievaluasi kembali.  Dia mengakhiri pertemuannya dengan Sang Guru dengan berjanji memberikan setengah dari hartanya kepada orang miskin, dan juga mengembalikan empat kali lipat milik orang-orang yang telah diperasnya. Zakheus selama itu dianggap sebagai orang berdosa, dan saat itu Yesus menyatakan, “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini."

Lalu ada kisah tentang orang muda yang “banyak hartanya.” Dia bertanya bagaimana memperoleh hidup yang kekal—sesuatu yang tidak dapat dibeli.  Secara lahir, orang muda ini terlihat baik, mematuhi Sepuluh Firman Allah sejak masih muda, dsb. Saat dia mendesak Yesus agar menjawab pertanyaannya, Yesus menyuruhnya menjual seluruh hartanya dan memberikannya kepada orang miskin—lalu dia akan mendapatkan “harta di sorga.” Sayangnya, hal itu merupakan tuntutan yang terlalu besar bagi orang muda tersebut, seperti juga bagi banyak orang di antara kita. Tetapi Yesus sebetulnya tidak memintanya untuk hidup dalam kekurangan atau hanya memberikan harta-bendanya. Yesus memberikan suatu pernyataan menarik kepada murid-muridnya sesudah kejadian tersebut: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mat. 19:16-23).

Kedua orang ini sama-sama disentuh oleh Kristus. Tetapi keadaan mental masing-masing menentukan berkat yang mereka terima—atau yang mereka tolak. Tanpa kesediaan untuk memindahkan  kepercayaan kita di dalam zat kepada iman yang lebih kuat di dalam kesejatian yang tidak kelihatan akan Roh ilahi, maka kesembuhan serta perubahan yang sesungguhnya tidak terjadi. Pepatah Alkitab yang mengatakan bahwa “Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2 Kor. 9:7) menunjukkan bahwa memberi tidak menjadikan kita kekurangan. Saat kita memberi, percaya bahwa Roh ilahi benar-benar adalah Pemelihara yang agung, dan bahwa sumber kelimpahan tidak pernah ada di dalam zat, maka kita memperoleh kebebasan yang dicirikan oleh keadaan mental yang bersifat surgawi. Zakheus melihat sekilas kebenaran ini, dan dia serta “rumahnya”—kesadarannya—diperbaharui, dan pada gilirannya memberkati orang lain. Selain itu juga sangat melegakan mengetahui bahwa orang muda itu, yang sedih jika kehilangan harta-bendanya, mungkin dapat bersukacita karena memahami bahwa jika kita mengikuti Kristus, tak dapat tiada kita akan memperoleh semua yang kita perlukan. 

Kristus mengingatkan kita bahwa nilai kekayaan kita yang sesungguhnya tidak diukur dari berapa banyak uang kita di Bank, naik turunnya harga saham atau nilai properti. Semakin kita berpaling kepada Allah sebagai sumber kestabilan serta persediaan kita, alih-alih kepada kemampuan insani atau pemupukan kekayaan dengan berjalannya waktu atau sesuai keadaan, maka semakin banyak kita mendapat karunia akan  kesadaran yang tenteram dan merasa bebas untuk memberi. Suatu kecenderungan untuk menyalahkan keadaan yang kurang menguntungkan, kemunduran ekonomi, pengangguran, atau sebab lain, akan sirna. Pemazmur menyatakan, “Besarlah ketenteraman pada orang-orang yang mencintai Taurat-Mu, tidak ada batu sandungan bagi mereka”  (Mzm. 119:165).

Pemberian terbesar yang dapat kita sampaikan adalah penyembuhan. Saat kita masing-masing membuka pikiran kepada pesan penyembuhan Kristus, kita akan menerima berkat—dan akan memberi dengan sukacita dan penuh percaya. 

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.