Ketika berumur 19 tahun saya melahirkan seorang anak. Karena tidak menikah, kehamilan saya merupakan suatu aib besar bagi keluarga dan dirahasiakan. Pada saat itu saya masih tinggal bersama orang tua, kemudian saya pindah dan tinggal bersama kakak saya dan suaminya sampai bayi saya lahir dan saya menyerahkan anak saya untuk diadopsi.
Pada saat melihat anak laki-laki saya untuk pertama kali di Rumah Sakit, timbul kasih sayang yang begitu besar kepadanya, lebih daripada yang saya bayangkan sebelumnya. Sangatlah menyiksa untuk menyerahkan anak saya kepada orang tua angkatnya serta menandatangani surat-surat yang menyatakan bahwa saya tidak akan pernah dapat melihat atau menghubungi dia lagi. Walaupun saya tahu bahwa saya telah membuat keputusan terbaik bagi kesejahteraan hidup dan masa depan anak saya, selama beberapa tahun saya merasa putus asa dan sangat sedih atas perpisahan tersebut. Setiap hari saya menangisi anak saya, serasa anak saya telah meninggal dunia. Saya juga terus menanggung beban berat karena harus merahasiakan semua ini dan merasa malu serta bersalah atas apa yang telah saya lakukan terhadap keluarga saya.
Bertahun-tahun kemudian, saya mengenal Ilmupengetahuan Kristen ketika suatu pembicaraan dengan seorang teman sekerja membuat saya ingin mengetahui lebih dalam tentang hubungan saya dengan Allah. Teman saya ini adalah seorang pelajar Ilmupengetahuan Kristen dan walaupun sebelumnya saya pernah mendengar tentang Ilmupengetahuan Kristen, saya belum mengetahui ajarannya.
Setelah saya mulai mempelajari Ilmupengetahuan Kristen, saya belajar tentang kasih Allah yang tidak berhingga dan tidak menghakimi bagi saya dan semua anakNya. Saya sangat bersyukur mengetahui bahwa Allah, Kasih ilahi itu sendiri, sebenarnya mengasihi saya dan tidak pernah menghukum saya ataupun melihat saya sebagai kurang daripada anakNya yang baik. Sebagai akibatnya, saya mulai memaafkan diri saya untuk kesalahan-kesalahan yang telah saya perbuat.
Walaupun penyembuhan secara total dari rasa bersalah ini membutuhkan waktu beberapa tahun, sedikit demi sedikit saya mampu mengatasi kekhawatiran saya setiap hari mengenai keadaan anak saya. Apakah dia bahagia? Apakah dia sehat dan aman? Apakah dia dikasihi dan dihargai oleh orang tua angkatnya? Seiring bertumbuhnya pengertian saya tentang kasih Allah yang tidak berhingga, saya semakin percaya bahwa Allah, satu-satunya Pencipta yang sejati, mengasihi dan menjaga anak saya dengan mesra; bahwa anak saya tidak dapat dipisahkan dari Kasih ilahi dan kelembutan atau sukacita Kasih tersebut.
Meskipun demikian, hati saya tetap saja bergulat dengan keinginan untuk mengetahui keadaan anak saya. Seperti apa rupanya? Apa yang membuat dia tertawa? Apakah dia membenci saya karena telah menyerahkannya untuk diadopsi? Apakah dia tahu bahwa saya mengasihinya? Di hari ulang tahunnya yang ke-18, saya merasa berada di titik terendah dalam hidup saya. Saya sadar telah melewatkan banyak sekali momen-momen penting dalam hidupnya: kata-kata pertamanya, langkah pertamanya, hari pertama dia masuk sekolah, hari kelulusannya dari SMU, dan sebagainya. Momen-momen itu hilang selamanya, pikir saya. Dan saya tidak akan mendapatkannya.
Walaupun demikian, jauh di lubuk hati, saya mengetahui bahwa kesengsaraan itu hanya dapat diatasi dengan lebih banyak menyatakan kasih yang bebas dari diri. Saya berusaha kembali untuk mengasihi anak saya tanpa syarat. Saya teringat pengalaman Yesus Kristus di taman Getsemani, di mana murid-muridnya tertidur dan gagal untuk berjaga pada saat Yesus sedang berdoa. Akhirnya Yesus ditangkap oleh tentara Romawi. Meskipun demikian, Yesus tetap mengasihi, bahkan musuh-musuhnya. Saya mendalami definisi rohaniah Mary Baker Eddy tentang Getsemani: “Sabar dalam penderitaan; yang insani yang menyerah kepada yang ilahi; kasih yang tidak berbalas, sungguhpun demikian tetap tinggal kasih” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 586).
Bagian terakhir definisi tersebut sangat berkesan bagi saya: kasih yang tidak berbalas, sungguhpun demikian tetap tinggal kasih. Itulah kasih yang sejati. Pada saat itu saya menyadari bahwa hadiah terbesar yang dapat saya berikan kepada anak saya adalah mengasihinya dari jauh. Tidak masalah apakah dia mengetahui bahwa saya mengasihinya atau apakah dia mau membalas kasih sayang saya. Saya tahu, bahwa dengan mengasihi dia, kita berdua akan diberkati. Pengertian ini membebaskan saya dari rasa cemas dan khawatir dan dari kebutuhan untuk merasa dikasihi juga oleh anak saya. Untuk pertama kali dalam bertahun-tahun—bahkan dalam puluhan tahun—saya mulai merasakan sukacita yang sesungguhnya dalam menjalani keseharian saya. Saya dapat memikirkan anak saya tanpa perasaan sedih.
Beberapa tahun kemudian, di kantor saya menerima sepucuk surat yang sudah sangat saya tunggu-tungu selama 27 tahun, dari lembaga yang menangani adopsi anak saya. Dalam surat itu saya diminta untuk menghubungi mereka. Saya tahu ini hanya berarti satu hal: Anak saya telah berinisiatif mencari saya.
Keesokan harinya saya menghubungi lembaga tersebut dan berbicara dengan orang yang menangani kasus itu. Dia memberitahukan bahwa ketika anak saya mulai mencari saya hampir satu tahun sebelumnya, mereka meminta anak saya untuk menulis surat kepada saya, dan orang itu menawarkan untuk membacakan surat tersebut. Isi surat itu sungguh indah. Anak saya menceritakan tentang keluarga angkatnya yang luar biasa, tentang pengalaman-pengalaman hidupnya, dan tentang semua yang disukainya. Dia memiliki kehidupan yang utuh, penuh kebahagiaan dan dia selalu mendapat kasih sayang yang dalam. Itu adalah semua yang saya harapkan untuknya. Dia menutup suratnya dengan mengucapkan terima kasih kepada saya karena telah memberikan kehidupan kepadanya.
Pada saat saya mendengarkan kata-kata anak saya, saya mengalami kesembuhan total yang serta merta. Segala rasa malu, rasa bersalah, cercaan, dan kepedihan hilang sama sekali, dan saya merasakan sukacita yang begitu besar yang belum pernah saya rasakan sebelumnya.
Dalam beberapa minggu dan beberapa bulan berikutnya kami saling berkirim surat dan email. Kemudian kami melakukan pembicaraan yang panjang melalui telepon, dan akhirnya untuk pertama kali dia mengunjungi kota saya dan kami bertemu muka lagi sejak dia lahir.
Saat saya berdiri di bandara, melihatnya keluar dari pintu dan berjalan ke arah saya dengan tangan terbuka, saya tidak ingin melewatkan apa pun: Kata-kata pertama anak saya adalah “terima kasih,” ketika saya melihatnya melangkah ke arah saya. Ini adalah momen yang sangat berharga yang akan saya kenang selamanya!
Dalam beberapa bulan berikutnya saya juga berhubungan dengan ayah dan ibu angkatnya yang dengan ramah dan penuh kasih telah mendukung anak saya mencari ibu kandungnya. Ternyata, mereka telah memberitahu anak saya tentang saya pada saat dia masih kecil dan sejak itu selalu menjelaskan kepada anak saya bahwa ibu kandungnya sangat mengasihi dia.
Satu setengah tahun setelah pertemuan awal kami, anak saya dan keluarga angkatnya mengundang saya datang ke kota tempat tinggal mereka dan mengadakan ‘open house’ agar saya dapat bertemu dengan orang tuanya, saudara-saudaranya, kakek-neneknya, bibinya, pamannya, para sepupunya, serta teman-temannya. Pada saat saya tiba di sana, mereka menyambut saya sebagai keluarga mereka. Banyak di antara mereka yang memberikan foto-foto sejak anak saya masih kecil untuk disusun dalam satu album yang kemudian diberikan kepada saya. Foto pertama dalam album itu adalah saat mereka membawa anak saya pulang dari lembaga adopsi. Di foto itu, anak saya memakai pakaian bayi yang sama seperti yang dikenakannya pada saat pertama kali saya memeluknya. Itulah gambaran dirinya yang saya bawa dalam hati selama 27 tahun.
Koleksi foto-foto itu, mulai dari masa kanak-kanak hingga lulus dari perguruan tinggi sangat berharga bagi saya. Pada waktu saya melihatnya, saya benar-benar memahami arti salah satu kalimat favorit saya dari buku nyanyian Ilmupengetahuan Kristen: “Duka lenyap, dib’rikanlah gembira, Dan ganti putus asa harapan” (No.412).
Semua yang saya sangka terlewatkan dari masa kecil anak saya, sudah dikembalikan kepada saya karena kasih orang tua angkatnya kepadanya begitu besar, tanpa batas dan tanpa pamrih, sehingga dapat merangkul saya juga. Saya menyadari bahwa usaha saya untuk mengasihi anak saya tanpa syarat telah dibalas seratus kali lipat.
Hubungan saya dengan anak saya (yang sekarang bekerja sebagai ahli tulang belakang di Chicago) telah tumbuh dan terjalin erat sejak kami dipertemukan kembali. Kami sangat dekat sehingga saya hampir tidak merasa pernah terpisah darinya. Dan ini adalah suatu kesejatian rohaniah: kita tidak pernah dapat dipisahkan dari mereka yang kita kasihi karena Allah adalah Kasih, dan kita telah dipersatukan satu sama lain dalam naungan Kasih.