Pada musim panas 2008, saya menjalani kehidupan seperti yang selalu saya impikan. Saat itu saya bekerja sebagai perancang (dan akan segera menjadi arsitek) di suatu perusahaan arsitek yang baru mulai dan sadar lingkungan. Waktu itu saya bertanggungjawab atas sebuah proyek bergengsi di kota Houston, suatu proyek yang saya harapkan dapat menjadikan perusahaan kami dikenal. Saya juga baru mendapatkaan lisensi di bidang perumahan, dan rencananya akan bekerja paruh waktu di bidang itu.
Idenya adalah bahwa suatu saat nanti saya dapat melakukan usaha bersama membangun proyek-proyek hijau, rendah biaya, dan direncanakan dengan baik, yang akan menjadi suatu standar baru di bidang rancangan. Saya sudah selalu berkeinginan untuk memberikan sumbangan seperti itu kepada dunia, dan itulah yang menjadi motivasi saya dalam memilih karir.
Meskipun demikian, pada suatu akhir pekan terjadi sesuatu yang tidak saya rencanakan. Sesudah seharian beraktivitas di pantai, bermain volley dan berjalan-jalan, salah satu kaki saya terasa sakit. Sebagai pelajar Ilmupengetahuan Kristen selama hampir tujuh tahun, reaksi saya yang mula-mula adalah berpaling dari pikiran bahwa saya cedera kepada pemahaman bahwa saya adalah pernyataan rohaniah Allah, bukan bangunan kebendaan yang terdiri dari daging dan tulang yang dapat cedera.
Tetapi saya begitu sibuk dengan karir saya, sehingga saya hanya tidak mempedulikan keadaan tersebut, alih-alih benar-benar berdoa untuk mengatasinya. Dan keadaan tersebut tidak membaik, malahan dalam waktu singkat tidak dapat diabaikan. Saya tidak hanya berjalan pincang dan tertatih-tatih, tetapi pada hari ketiga saya hampir tidak dapat berdiri tanpa rasa sakit yang hebat. Saya sadar harus meluangkan waktu untuk mengatasi keadaan tersebut melalui doa.
Selama dua hari berikutnya, setiap pagi dan sore dan terkadang seharian, saya berdoa dengan tekun. Saya memperoleh semangat dari sebuah petikan dalam Pelajaran Alkitab minggu itu yang berbunyi, “Cobaan adalah bukti akan penjagaan Allah” (Mary Baker Eddy, Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, hlm. 66). Saya menegaskan bahwa “cobaan” ini sesungguhnya bukanlah penderitaan, melainkan suatu kesempatan untuk melihat lebih banyak penjagaan Allah sebagai Pencipta ilahi saya yang penuh kasih. Pengalaman tersebut menjadi suatu penegasan yang bulat akan hubungan saya dengan Roh, Kasih. Sebagai keserupaan Allah, saya dapat menuntut bahwa kesempurnaan ilahi, bukan cedera, merupakan substansi saya.
Selagi berdoa dengan pikiran tersebut, terlintas dalam pikiran saya sebuah kesaksian di gereja cabang Ilmupengetahuan Kristen yang saya dengar baru-baru ini. Penyaksi mengatakan, kadang-kadang jika keadaan hidup kita seakan tidak seimbang, itu suatu pertanda bahwa kita dituntut untuk melakukan sesuatu yang melampaui upaya kita saat ini—dengan perkataan lain, untuk bergeser secara mental kepada keadaan pikiran yang lebih rohaniah. Hal tersebut mengingatkan bahwa saya perlu membuktikan kehadiran serta kemahakuasaan Allah di dalam semua aspek kehidupan saya.
Saya mulai sadar bahwa saya telah membiarkan diri begitu terserap dalam pekerjaan saya, dengan jadual harian yang memperhitungkan setiap menit, sehingga sedikit saja waktu yang tersisa untuk berdoa dan pembelajaran rohaniah. Hal ini membangkitkan kembali keinginan untuk menyisihkan waktu setiap hari guna melakukan hal tersebut. Saya menjadi lebih tekun dalam menyelaraskan pikiran dengan kebenaran rohaniah secara aktif dan teratur setiap hari. Sebagai akibatnya, saya lebih banyak meluangkan waktu untuk merenungkan yang saya baca dari Alkitab dan karya tulis Mary Baker Eddy.
Setelah membuat komitmen tersebut, pada akhir hari keempat kaki saya sembuh sama sekali, dan saya dapat berdiri dan berjalan dengan bebas. Tetapi masih ada lagi berkat yang saya peroleh. Sementara saya membuat keputusan yang sadar untuk merasakan, hampir tanpa henti, penjagaan Allah yang penuh kasih, saya mulai merasa lebih dekat dengan Allah dan dapat berdoa dengan lebih efektif. Berkat komitmen yang lebih dalam untuk berdoa ini, saya dapat melihat hidup saya dari sudut pandang yang lebih tinggi—sebagai pengembangan rohaniah kehendak Allah. Saya sadar, bahwa saya tidak terperangkap dalam rutinitas kebendaan yang bersifat monoton, tetapi bahwa Allah membimbing saya dalam keinginan saya membantu sesama. Meskipun kelihatannya hidup saya berhasil, saya tidak merasa puas—saya masih ingin menjadi berkat bagi sesama dengan cara yang ditunjukkan Allah.
Enam minggu setelah proyek saya selesai, saya menerima tawaran kerja dari sebuah perusahaan arsitek yang besar di kota saya. Kesempatan baru ini datang tanpa susah payah dan sama sekali berkat doa—dan merupakan perubahan karir yang sempurna dalam keinginan saya untuk melayani.
Saya sangat bersyukur telah belajar dalam Ilmupengetahuan Kristen bahwa hidup sebagai anak Allah memungkinkan kita memenuhi tujuan rohaniah kita.
Setiap hari saya merasa lebih dekat kepada Allah sebagai pernyataanNya yang tidak berbatas.
Houston, Texas, AS