Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Menyingkirkan pikiran yang seperti batu

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 1 Maret 2011

Diterjemahkan dari spirituality.com


Nabi Yesaya tidak berlebihan ketika mengatakan; "... dan seorang anak kecil akan menuntun mereka"  (11:6, menurut Alkitab versi King James).  Berkali-kali, Collin, cucu saya yang baru berusia delapan tahun, berbagi  pandangan rohaniah  yang dalam, yang tidak hanya memimpin saya—melainkan juga mendorong saya untuk menerima pandangan yang lebih rohaniah tentang diri sendiri dan orang lain.

Itu terjadi baru-baru ini, saat saya menceritakan kisah Paskah kepada Collin. Ketika kami sampai di bagian ketika Yesus menggulingkan batu dari pintu  kubur, saya mengatakan kepada Collin bahwa batu itu sangat besar—terlalu  besar untuk dipindahkan oleh satu orang saja.

Lalu saya bertanya, "Collin, menurutmu bagaimana dia menggulingkan batu sebesar itu?"

Nah, saya pikir dia akan mengatakan sesuatu seperti "Allah menolongnya menggulingkan batu itu."   Itulah  jawaban yang akan saya berikan. 

Namun ia berkata, "Nek, batu itu hanyalah pikiran."

Saya benar-benar terkesiap. Apa yang disampaikannya bukan sekedar kata-kata dewasa yang melampaui umurnya.  Sebelumnya kami telah membahas bahwa Alkitab menyatakan manusia sebagai gambar dan keserupaan Allah, dan karena Allah adalah Roh, maka gambar dan keserupaan  Allah harus bersifat rohaniah.

Kami juga telah membaca dan membahas "Pernyataan ilmiah tentang wujud" yang ditulis Mary Baker Eddy, yang menyatakan, "Segala-galanya ialah Budi yang tak berhingga dengan penyataanNya yang tidak berhingga, karena Allah adalah Semua-dalam-semua."  (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 468). Jadi sebenarnya bukanlah hal yang luar biasa kalau Collin berpikir bahwa hidup seluruhnya terdiri dari pikiran atau ide-ide rohaniah Allah.

Tapi yang luar biasa, dan sangat membantu saya, adalah pemahamannya mengenai akibat dari konsep tersebut.  Kalau kita menerima ketentuan bahwa segala sesuatu bersifat mental dan rohaniah, maka kita juga harus menyimpulkan bahwa apa pun yang tampak bagi kita sebagai penghalang, sebenarnya hanyalah suatu paham mental yang salah.  Karena bukan masalah kebendaan yang benar-benar ada dan tidak dapat  disingkirkan, maka hal tersebut tidak dapat melawan pembetulan, sama seperti sebuah kesalahan dalam ilmu matematika tidak dapat menolak untuk dikoreksi.

Saya menyadari dengan penuh rasa syukur,  bahwa kebenaran tersebut, yang disampaikan dengan begitu jernih melalui sifat kanak-kanak, datang pada saat yang tepat. Sudah lebih dari dua bulan, ada daging tumbuh yang setiap hari makin membesar di wajah saya.

Bagi saya, pertumbuhan ini terasa seperti batu yang tidak dapat disingkirkan karena dari laporan medis saya mendengar bahwa besar kemungkinan pertumbuhan jenis itu tidak dapat disembuhkan. Walaupun saya sudah berdoa untuk melihat diri saya sebagai ide rohaniah Allah, saya masih bergulat dengan perasaan bahwa saya adalah manusia yang bersifat kebendaan yang sedang mencoba  menggunakan doa untuk menyingkirkan pertumbuhan kebendaan yang benar-benar ada. Dan pendekatan ini tidak membawa hasil.

Tapi komentar Collin membebaskan saya dari usaha penyembuhan yang salah kaprah ini. Komentarnya membuat saya melihat, bahwa secara mutlak segalanya adalah pikiran.  Hal ini memungkinkan saya untuk memahami bahwa masalahnya bukanlah daging  tumbuh yang benar-benar ada di wajah saya, melainkan suatu keyakinan yang salah bahwa hidup bersifat kebendaan. Dan keyakinan itu bisa dibetulkan.

Saya teringat pada apa yang ditulis Mary Baker Eddy tentang bagaimana melakukan koreksi ini: "Apakah yang tampak seperti batu penghalang di antara kita dan pagi hari kebangkitan?  Hal itu adalah kepercayaan bahwa ada budi dalam zat. Kita hanya bisa masuk ke dalam kebangkitan rohani dengan  meninggalkan kesadaran lama bahwa Jiwa ada dalam pancaindera” (Miscellaneous Writings 1883-1896, hlm. 179).

Sejak itu dalam berdoa saya mengakui  kewajaran dan keperluan untuk “meninggalkan kesadaran lama bahwa ada Jiwa  dalam pancaindera,"  sesuai pernyataan Ny. Eddy bahwa, "Segala-galanya ialah Budi yang tidak berhingga dengan penyataanNya yang tidak berhingga, karena Allah adalah Semua-dalam-semua.”   Saya renungkan logika pernyataan yang mutlak ini. Pernyataan ini tidak menyisakan ruang untuk sesuatu selain Budi dan apa yang diketahui Budi. Dan kita merupakan bagian  dari apa yang diketahui Budi.

Dasar pikiran yang sepenuhnya rohaniah ini tidak meluangkan tempat bagi pertumbuhan kebendaan yang sakit.  Ketentuan ini tidak memberi ruang pada pikiran perorangan untuk percaya  pada zat yang sakit atau takut kepada zat yang sakit.  Sesungguhnya, ketentuan ini menghilangkan setiap kepercayaan bahwa dapat ada pikiran atau kondisi yang terdiri dari zat. Semua  berarti segalanya.

Kesemestaan Allah inilah yang secara tidak terelakkan menggantikan tempat ketidaksesuatuan yang tidak dapat ada dan dengan demikian tidak dapat merupakan penghalang jenis apa pun—bahkan tidak juga suatu keyakinan yang kokoh.

Perasaan sukacita membuncah di dalam diri saya sebagai akibat ide-ide tersebut, dan saya menikmati kemuliaannya. Saya tidak merasa sedang berusaha membuat ide-ide tersebut "melakukan" sesuatu atau bahkan menggunakannya untuk menyingkirkan sesuatu. Saya mengerti bahwa ide-ide ini, dalam dan dari dirinya sendiri,  menjelaskan dan mendefinisikan siapa saya sebenarnya. Pengenalan diri ini merupakan seluruh inti doa saya. Dan saya merasa damai berdoa seperti itu.

Beberapa minggu kemudian, tidak ada lagi daging tumbuh di wajah saya. Apa yang terasa sebagai kendala kebendaan yang benar-benar ada, memudar dengan mudahnya di hadapan apa yang diketahui Budi.

Ini merupakan bukti bagi saya bahwa, meskipun zat seakan tampak sangat nyata serta kokoh dan kepercayaan akan budi dan jiwa perorangan seakan tidak dapat ditembus,  Allah, Budi, benar-benar adalah Semua-dalam-semua.  Tidak pernah ada saat ketika Allah, kebaikan, tidak merupakan Semua.  Dan itu berarti bahwa tidak pernah sesaat pun kita tidak menyatakan kesempurnaan Allah.

Karena  Budi harus merupakan Semua, maka  penghapusan  segala sesuatu yang tidak seperti Budi, haruslah tidak terelakkan. Hal ini menjamin bahwa pagi kebangkitan selalu ada di dalam diri kita masing-masing.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.