Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Perjalanan saya dari sakit yang mematikan kepada sukacita dan kesehatan

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 1 Juni 2011

Diterjemahkan dari Christian Science Sentinel, 14 Juli 2008


Dengan mempelajari Ilmupengetahuan Kristen dan membaca Alkitab, saya tahu bahwa ada Allah yang pengasih. Saya tahu bahwa kasih dan kehadiran  Allah membawa kesembuhan, dan tidak ada diagnosa tentang penyakit yang tidak dapat dibalikkan.

Tetapi saat mengikuti siaran televisi yang tanpa henti membahas Senator Edward Kennedy dan perjuangannya melawan kanker otak baru-baru ini, saya melihatnya dari sudut pandang pribadi—sebagai orang yang mengalami keadaan yang sama 15 tahun yang lalu. Istilah “tidak ada harapan,” “tragis,” dan “malang” digunakan untuk menggambarkan diri saya. Perjalanan saya mulai dari situ tetapi membawa saya kepada penyembuhan yang sebenarnya dan ke tempat yang penuh kasih.

Kisah saya bermula di tahun 1993, sebelum saya mendengar tentang Ilmupengetahuan Kristen. Saat itu perkawinan saya kurang selaras. Kami memiliki dua anak laki-laki umur lima dan tujuh tahun.  Saya memeriksakan kesehatan karena mengalami gejala-gejala yang kurang baik.  Dokter mengatakan bahwa saya menderita tumor di batang otak yang tidak dapat dioperasi, dan saya hanya akan hidup beberapa bulan saja. Para dokter menyarankan agar saya pulang dan membuat persiapan terakhir.

Saya merasa seakan melihat film tentang kehidupan orang lain. Dan perkawinan saya yang goyah benar-benar tidak menjadikan keadaan itu lebih baik. Selama  hidup, saya belum pernah merasa seburuk itu atau  jatuh sedalam itu. Saya selalu berusaha membahagiakan setiap orang lain, dan hal itu ternyata tidak berarti apa-apa.

Saya dibesarkan dalam keluarga Kristen yang patuh, dan masa kecil saya kurang bahagia. Saya pikir Allah akan menghukum saya, kalau tidak didahului oleh ayah saya. Bagi saya, Kasih dan Allah hanyalah kata-kata hampa, karena suasana keagamaan yang ditekankan adalah api neraka dan batu yang membara. Saya juga menderita depresi berat dalam hidup saya.

Dengan latar belakang seperti itu, saat diberitahu bahwa saya menderita tumor otak, mula-mula saya menganggap diagnosa itu adil. Dengan sejarah mengidap depresi, hal itu hampir terasa patut saya terima.  

Namun, hukuman itu terasa tidak sepenuhnya tepat. Saya dapat memaklumi kalau saya sedang mendekati maut, tetapi mengapa Allah melakukan hal yang begitu kejam terhadap dua anak kecil, dengan mengambil ibunya? Dalam hidup, tidak banyak yang dapat saya banggakan, tetapi saya menganggap pencapaian saya sebagai seorang ibu adalah sesuatu yang telah saya lakukan dengan baik.

Saat itu, suatu pola pemikiran baru mulai muncul. Saya mulai mengajukan berbagai pertanyaan kepada diri sendiri. Dalam kegelapan mental itu, meskipun saya tidak merasa pantas mendapat nasib yang lebih baik, saya tahu bahwa Allah tidak dapat berlaku begitu kejam terhadap kedua anak yang tidak bersalah itu.

Suatu ketika saya mengunjungi seorang ahli psikoterapi untuk mendapatkan bantuan dalam perjuangan saya. Tetapi ternyata bantuan yang saya terima lebih bersifat rohaniah daripada psikologis. Saya menanyakan hal-hal yang terdengar konyol: Apakah anda percaya pada doa? Mengapa kelihatannya doa tidak pernah berhasil? Bagi saya saat itu, doa adalah daftar panjang hadiah yang saya inginkan saat Natal tiba, alih-alih tindakan yang membawa bantuan nyata. Tetapi ada sesuatu yang terus berkembang di dalam diri saya saat saya mengajukan pertanyaan. Dan saya bukan hanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru. Saya bahkan secara mental kembali bertanya tentang hal-hal yang saya pikir sudah saya ketahui jawabannya.  

Saya belum pernah menyadari bahwa ada cara lain untuk memandang dunia atau hidup. Dengan keadaan yang saya hadapi, tidak menjadi soal menanyakan pertanyaan yang lebih berat dan bersikap lebih terbuka dalam menerima jawaban-jawaban yang baru. Suatu hari, akhirnya saya merasakan suatu kedamaian yang luar biasa.  Meskipun tidak yakin saya memahami siapa Allah itu, saya dapat merasakan kehadiranNya, dan tahu bahwa anak-anak saya akan baik-baik saja, apa pun yang terjadi dengan diri saya. Saya berhenti memikirkan bahwa satu-satunya cara anak-anak akan baik-baik saja adalah jika saya sembuh. 

Meskipun saya belum merasa layak untuk menerima kesembuhan, saya merasakan damai dan kebahagiaan yang menakjubkan karena tahu bahwa anak-anak akan baik-baik saja. Tidak ada penalaran yang masuk akal saat itu, dan ternyata penjelasan itu datang dengan cara yang istimewa. Kebahagiaan saya memiliki kedalaman yang menjadikannya terasa sejati dan tidak dapat disangkal. Orang yang memahami doa sebagai suatu keinginan dan rasa syukur yang murni tahu apa yang terjadi dengan diri saya. “Keinginan adalah doa,” tulis Mary Baker Eddy dalam buku Ilmupengethuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, “dan kita tidak akan kehilangan sesuatu juapun dengan mempercayakan keinginan kita kepada Allah supaya dibentuk dan diluhurkan sebelum menjadi nyata dalam kata-kata dan perbuatan” (hlm. 1). Kegelapan mental itu dihapuskan oleh apa yang sekarang saya pahami sebagai terang Kristus, pesan Allah akan keutuhan. Jika pikiran kita dirubah oleh Kebenaran ilahi, tubuh kita mencerminkan perbaikan itu.

Sesuai anjuran dokter, saya menjalani tes MRI dua minggu sekali. Saya tidak pernah membicarakannya dengan para teknisi dan dokter, tetapi saya tahu sesuatu berubah dalam diri saya. Saya menghabiskan waktu mencoba memahami apakah  Allah ada, dan siapakah Dia. Dan saya mempunyai banyak waktu.

Suatu hari yang tidak terlupakan, saya berbaring di lantai kamar tidur mengamati burung-burung dan tupai di dekat tempat makan burung. Sejak beberapa waktu saya bermusuhan dengan si tupai. Saya melempar dia dengan pena agar meninggalkan biji-bijian yang saya peruntukkan burung-burung.  Hari itu saat merenungkan semua yang terjadi dalam hidup saya, saya sadar tidak menaruh biji-bijian di tempat makan burung.  Tupai kecil itu melihat saya berbaring di lantai dan punya keberanian  untuk mendekat dan menabrak tirai seakan berkata, “Nyonya, mana makanan saya?” Saya mengambil makanan dan tertawa karena kecerdikannya—dan melihat bahwa di balik penampilannya yang tidak bersalah dan rendah hati, ada sesuatu yang kokoh yang sulit dijelaskan. 

Saya pikir, mungkin semua hal yang saya anggap sejati—seperti keadaan saya—sesungguhnya tidak benar-benar sejati seperti kecerdasan makhluk ini. Saat itu saya berpikir tentang Allah. Apakah Dia baik dan pengasih? Apakah Allah ada hubungannya dengan kedamaian yang saya rasakan dan hilangnya kekhawatiran harus meninggalkan kedua anak saya? Lalu datanglah pikiran yang sangat revolusioner (dan lucu). Selama di Sekolah Minggu saya mempelajari Alkitab dengan baik. Saya ingat dalam Kitab Perjanjian Lama ada banyak ceritera tentang pemukulan—bangsa  Israel memukul bangsa lain, dan dipukul oleh bangsa lain.  Tetapi, sekarang saya, tahu Allah tidak ada di atas sana dengan “pemukul yang besar” dan Dia tidak akan pernah mengatakan bahwa hari ini adalah giliran saya untuk dipukul! Kedengarannya gila sekali sehingga saya tertawa keras. Saat itu saya tahu ada jawaban untuk saya—dan bahwa jawaban itu bersifat rohaniah.

Beberapa bulan kemudian, setelah melampaui jangka waktu yang diprediksikan saya dapat bertahan hidup, saya pergi menemui beberapa dokter bedah syaraf di rumah sakit terkenal di Boston. Salah seorang dokter berkata, “Suzy, ini suatu keajaiban, kami tidak tahu apa yang terjadi, tetapi engkau mulai sembuh.”

Saya menjawab, “Saya tahu, dan ada tempat-tempat yang lebih baik daripada berada di rumah sakit.”

Meskipun “keajaiban” seakan merupakan satu-satunya penjelasan saat itu, saya tahu bahwa berkat yang dari pandangan yang konvensional tidak dapat dijelaskan, tidaklah bersifat acak dan tidak wajar. Saya mulai melihat bahwa “mujizat tidak mendatangkan kekacauan, melainkan

mengembangkan ketertiban yang asali dan menetapkan Ilmupengetahuan akan hukum Allah yang tidak berubah-ubah” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 135). 

Saat itu, suami saya dan saya telah bercerai, dan anak-anak dan saya menjadi tuna wisma—kami tidur di lantai ruang tamu teman dan di hotel sampai saya menerima bantuan kesejahteraan dari pemerintah. Meskipun merasa sehat wal afiat, saat mencari pekerjaan, begitu perusaahaan mendengar riwayat kesehatan saya, tamatlah wawancara untuk mendapatkan pekerjaan. Tetapi, meskipun anak-anak dan saya tuna wisma, saat itu merupakan masa yang paling membahagiakan dalam kehidupan saya, dan anak-anak pun memandang segala sesuatu secara positif. Saat seorang pendeta mengatakan betapa menyedihkan bahwa anak saya tuna wisma, Brent, anak saya yang saat itu berumur delapan tahun menjawab, “Tidak apa-apa. Rumah dapat datang dan pergi, tetapi kami memiliki keluarga.” 

Lalu mengapa, bahkan sebelum para dokter menyatakan bahwa saya sehat, saya merasa penuh suka cita? Saat saya memahami bahwa Allah tidak memiliki “tongkat pemukul” yang menakutkan, dengan serta merta saya sembuh dari depresi yang sudah didiagnosa secara klinis. Sebelumnya saya pikir meninggal itu mudah; hiduplah yang terasa bagaikan neraka. Sekarang saya tidak dapat menunggu bangun di pagi hari dan mencari tahu ke mana Allah akan membimbing saya. Saya tahu bahwa sembuh secara fisik saja bukanlah sumber kebahagiaan saya, dan saya bertekad menemukan apa yang terjadi dengan diri saya.  

Tetapi mula-mula saya mencoba memberitahu Allah bagaimana jawaban itu akan datang: Saya yakin, bukan melalui gereja. Kata kerohanianmuncul dalam kosa kata saya, maka saya pergi ke toko buku mencari ide tentang kerohanian dan kelimpahan. Salah satu buku yang ditulis seorang pendeta memberi kejelasan tentang  konsep persembahan dan ide-ide Allah yang melimpah.

Saat itu kami hidup dari bantuan pemerintah, tetapi saya mempunyai ide untuk menyelenggarakan “rumah pamer perancang,”—suatu kegiatan amal di mana para perancang mendesain kembali kamar-kamar dalam suatu rumah yang besar dan menarik biaya dari para pengunjung. Saya menghubungi suatu organisasi amal yang bertujuan menurunkan jumlah tuna wisma dan menawarkan jasa saya. Meskipun saat itu musim dingin, pendapatan yang kami peroleh menyamai pendapatan di musim panas.

Yang tidak saya ceriterakan kepada siapa pun adalah bahwa keluarga saya tinggal di rumah pamer selama renovasi dan persiapan pameran. Tetapi saya memutuskan untuk memberitahu ketua organisasi amal itu tentang apa yang telah saya lakukan.

Hari itulah semua pertanyaan tentang Allah dan kesembuhan saya dan kerohanian mulai terjawab.

Begitu saya menjelaskan keadaan saya kepada wanita itu, dia pergi ke mobilnya dan mengambil tas penuh berisi bacaan Ilmupengetahuan Kristen, termasuk buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan, di samping banyak majalah Sentinel dan The Christian Science Journal. Wanita itu menyuruh saya membacanya dan mengatakan saya akan menemukan jawaban atas pertanyaan saya dan masalah saya.

Sore itu, karena mula-mula saya anggap Ilmupengetahuan dan Kesehatan agak sulit dipahami, saya mulai membaca Sentinel. Semalaman saya membaca, dan menangis gembira atas apa yang saya temukan. Saya telah menemukan penjelasan yang meyakinkan mengenai apa yang saya alami, mengapa saya sembuh, sifat Allah yang telah menyembuhkan saya. Dan  saya tahu saya akan memanfaatkan Ilmupengetahuan Kristen dalam hidup saya untuk menolong orang lain.

Pernyataan Alkitab, bahwa “Allah adalah kasih” bukan lagi kata-kata hampa. Sekarang bagi saya hal itu adalah sumber segala kegiatan dan hidup. Perjalanan saya menakjubkan, dan untuk pertama kali dalam hidup saya, saya merasa pulang ke rumah. Saya merasa bahwa saya milik Allah, dan sadar bahwa dalam hidup ada kewarasan, yang sebelumnya tidak saya lihat. Saya tidak merasa telah menemukan sesuatu yang baru. Kebenaran dan Asas ilahinya sudah selalu ada, tetapi saya mencarinya di tempat-tempat yang salah.

Kemudian, sesudah Ilmupengetahuan Kristen memberkati keluarga saya dengan melimpah—doa dan pertumbuhan rohaniah telah memperbaiki sifat dan menyembuhkan masalah jasmani pada saat diperlukan—ayat-ayat Alkitab  berikut menggambarkan hidup saya lebih baik daripada  yang dapat saya lakukan: “Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau. Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku. Jika aku berkata: "Biarlah kegelapan saja melingkupi aku, dan terang sekelilingku menjadi malam," maka kegelapan pun tidak menggelapkan bagi-Mu, dan malam menjadi terang seperti siang; kegelapan sama seperti terang” (Mzm 139:7-12).

Tidak menjadi soal lagi kemana saya pergi, atau betapa gelap atau tersesat keadaan hidup saya waktu itu. Allah melihat kehidupan saya sama saja, sebagai terang. Allah selalu melihat saya utuh.

Ilmupengetahuan Kristem memberi saya cara baru melihat masa lalu. Ilmupengetahuan Kristen menunjukkan bagaimana dan mengapa saya sembuh dari penyakit yang mematikan. Dan menunjukkan bahwa sebenarnya saya tidak pernah sendiri. Saya mulai memahami Allah dan bangkit di hadiratNya.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.