Tidak dapat diragukan, dalam masa-masa yang penuh tantangan seperti sekarang ini, banyak orang di seluruh dunia merisaukan sumber daya yang mereka miliki, keadaan keuangan mereka, rumah mereka. Dan mungkin mereka merasa berhak sepenuhnya atas barang-barang yang telah mereka peroleh dengan bekerja keras.
Benarkah kita berhak atas sesuatu? Dari siapa? Dan dalam keadaan apa?
Meskipun berbagai kamus berbahasa Inggris tidak memberikan makna yang jelas tentang kata entitlement atau kepemilikan hak sampai jauh sesudah Depresi Ekonomi yang melanda seluruh dunia pada tahun 1930-an, sebenarnya makna kata itu sudah dipraktekkan sejak awal adanya hubungan antar manusia dan antar masyarakat, sejak zaman para raja dan pangeran dahulu kala, di seluruh belahan dunia. Sebagai contoh, dalam Kitab Kejadian dikisahkan bagaimana Yakub membohongi ayahnya untuk mencuri hak anak sulung yang dimiliki Esau, kakak laki-lakinya.
Salah satu segi kepemilikan hak adalah konsep pewarisan. Dan tidak sesuatu pun yang menggambarkan hal itu dengan lebih jelas daripada lukisan Rembrandt yang terkenal, “Kembalinya si Anak Hilang,” yang tergantung di Hermitage Museum, St. Petersburg, Rusia. Ayah yang terbalut dalam jubahnya yang merah, lambang kekuasaan, memberkati puteranya yang kedua, yang dengan rendah hati pulang ke rumah dalam keadaan compang-camping untuk memohon pengampunan. Di sampingnya berdiri kakak laki-lakinya dengan raut wajah mencemooh, juga berjubah merah, yang menunjukkan hak kepemilikkannya yang wajar dan layak atas kekuasaan dan kekayaan keluarga.
Dalam berbagai kamus yang ada sekarang ini, entitlement didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat kebijaksanaan—hak atas berbagai hal yang bermanfaat yang ditetapkan oleh hukum atau kontrak, bagi kelompok atau orang tertentu—atau berdasarkan keyakinan bahwa seseorang layak memperoleh atau berwenang atas hak-hak istimewa ataupun manfaat-manfaat kebendaan. Namun, benarkah demikian?
Seseorang yang susah hidupnya mungkin merasa berhak menerima bantuan pemerintah untuk memenuhi keperluan dasarnya. Sepasang suami-isteri yang hidup mapan mungkin akan sekonyong-konyong mengalami kesulitan keuangan sesudah purna bakti tanpa melakukan kesalahan sedikitpun, dan merasa berhak atas tunjangan pensiun yang selayaknya diterimanya. Seorang remaja belasan tahun mungkin merasa berhak atas sebuah mobil ketika ia mencapai usia yang mengizinkannya untuk mengendarai mobil. Sepintas lalu nampaknya semua itu menyangkut seseorang yang patut menerima sesuatu yang disediakan oleh kekuatan lain — jaminan sosial, suatu badan usaha, keluarga.
Namun mungkin seluruh konsep itu perlu dilepaskan dari apa yang bersifat kebijaksanaan tersebut dan dinaikkan dari ketentuan insani pada tingkat dasar ke tingkat pengertian yang lebih tinggi, ke tingkat rohaniah. Ke tempat di mana hubungan antara Allah dan anak-anakNya, termasuk Anda dan saya, mengungkapkan persediaan yang tidak berbatas yang telah senantiasa ada.
Contoh yang bermanfaat terdapat dalam ceritera ketika Yesus memberi makan 4.000 orang berbekalkan tujuh roti (yang sebelumnya tidak pernah dihitungnya). Dan makna yang lebih luas akan peristiwa dalam Injil Matius itu (15:32-38) dapat dilihat dalam pernyataan ini dari buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan: “Tidaklah benar untuk mengira, bahwa Yesus membuktikan kekuasaan ilahi untuk menyembuhkan hanya bagi sejumlah orang yang terpilih atau untuk suatu jangka waktu yang terbatas, karena kepada sekalian umat manusia dan pada tiap-tiap saat Kasih ilahi mengaruniakan segala kebaikan” (hlm. 494).
Perbedaan pendapat mungkin terjadi berkenaan dengan hak-hak tertentu sebagai manusia, dan lebih umum lagi hak sebagai warga masyarakat. Tetapi tidak dapat ada perbedaan pendapat tentang hak-hak setiap orang sebagai putera dan puteri Allah, yang dijelaskan dalam bab pertama Kitab Kejadian. Dan hal itu berlaku sekarang juga—bukan pada suatu waktu di masa datang ataupun sebagai hasil suatu tindakan tertentu. Mungkin tidak jelas kapan atau di mana atau bagaimana kesadaran yang menyembuhkan itu akan berlaku dalam pengalaman kita, tetapi kita harus tekun menghayati pengetahuan kita, bahwa bila kita “meluaskan daerah [kita]” dan mencakup seluruh umat manusia, kita akan terangkum dalam perjanjian yang sangat berharga dalam ayat itu (Kel. 34: 24).
Allah menyediakan segala yang kita perlukan setiap saat. Seperti yang dinyatakan dalam buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan, “Kasih ilahi senantiasa telah memenuhi dan selalu akan memenuhi seluruh keperluan manusia” (hlm. 494). Kadang kala hal itu sulit diterima, tetapi ajakan Kasih seringkali berdampak lebih luas daripada pemenuhan keperluan pribadi kita saja dan mencapai pemenuhan tetangga atau teman kita.
Pada waktu-waktu yang teramat sulit—terutama dalam keadaan keuangan yang sangat berat—saya sering merenungkan surat kedua Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, yang jelas sedang berjuang dan dalam kekurangan. Paulus mengatakan kepada orang-orang di sana, bahwa segala sesuatu bergantung kepada mereka sendiri. Mereka harus bersedia melangkah maju dengan apa yang mereka miliki dan tidak dibatasi oleh apa yang tidak mereka punyai.
Kita semua mempunyai sesuatu untuk diberikan kepada orang lain. Dan tidaklah benar bahwa beberapa orang bebas tidak berbeban, sementara beberapa orang lain berbeban berat. Rasul Paulus menyatakan: “Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan” (2Kor. 8:14). Dengan merenungkan nasihat yang bijak itu, kepemilikan hak sebaiknya dipandang sebagai apa yang telah kita miliki dari Allah dan yang pasti dapat kita bagikan kepada orang lain.