Hidup dalam suatu budaya konsumerisme berarti ditawari, diiming-imingi berbagai merek, didorong untuk berbelanja dan berbelanja lagi, dan dididik untuk berpikir bahwa orang dinilai dari produk-produk yang mereka beli. Ada yang mengatakan, ini adalah model ekonomi yang paling bagus. Dan memang, suatu petunjuk akan ekonomi yang sehat adalah banyaknya pertukaran barang dan jasa. Tetapi suatu model pemasaran umumnya dibangun di atas titik tolak untuk menjual kepuasan dan kemudian menumbuhkan ketidakpuasan — dengan ide bahwa orang akan menginginkan suatu produk tertentu, dan akhirnya mereka akan menginginkan lebih banyak. Beberapa pertanyaan menggarisbawahi model pemasaran yang dapat mempengaruhi konsumen ini. Pertanyaan seperti: Bagaimanakah produk ini mendefinisikan saya? Apakah yang akan diberikannya kepada saya? Apa yang harus saya lakukan untuk memperolehnya? Berapa lamakah produk ini akan bertahan? Dapatkah saya memperolehnya sekarang?
Suatu artikel dalam majalah Christianity Today, yang berjudul “Yesus bukan suatu merek dagang” karangan Tyler Wigg-Stevenson (Januari 2009), mengetengahkan bahwa karena begitu banyak orang terbiasa dengan mentalitas konsumen, maka bisa sulit bagi kita untuk memisahkan hal ini dari kehidupan keagamaan kita. Penulis itu mengemukakan pengamatan yang menyadarkan kita ini: “Dalam suatu budaya yang dikuasai pemasaran, Kebenaran menjadi suatu produk dagang. Orang akan memandangnya dengan pandangan dunia yang bersifat konsumeristis, sebagaimana mereka memandang semua produk lain di pasar Amerika.”
Suatu pengamatan yang lebih dalam mengenai bagaimana pendekatan konsumerisme berlaku dalam pemikiran kita setiap hari — dan memberi dampak pada kehidupan rohaniah kita — dapat membuka mata kita, terutama jika “produk” yang ditawarkan adalah sesuatu yang sakral seperti pengertian kita tentang Allah atau ajaran Yesus. Artikel itu mengemukakan: “Iman yang benar-benar mendalam berakar pada pengenalan siapakah Kristus sebenarnya. Sebaliknya, kefanatikan pada merek dagang berpusat pada diri sendiri….”
Benar-benar mengenal Kristus berarti memahami dan tanpa mementingkan diri mempraktekkan kebenaran-kebenaran yang diajarkan Yesus. Yesus berjanji, bahwa pesannya selamanya akan memberi kepuasan. Kepada wanita Samaria, yang dijumpainya di dekat sebuah sumur, dikatakannya: “Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal” (Yoh. 4: 13, 14). Bayangkan jika janji seperti itu dihayati dan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Pesan kebenaran Yesus mengubah pertanyaan konsumen menjadi pernyataan yang kuat akan kebenaran: Saya didefinisikan oleh Allah. Saya puas, dan tidak memerlukan sesuatu pun untuk menjadikan hidup saya lengkap. Saya memiliki segala sesuatu yang saya perlukan sekarang ini, dan hal itu selamanya baru dan segar. Saya sabar dan utuh. Semua pernyataan ini menunjuk kepada jatidiri kita yang benar dan rohaniah, dan menyangkal model yang materialistis yang tidak pernah memberikan kepuasan. 2
Barangkali “salesman” terbaik bagi ajaran-ajaran Yesus — seseorang yang seluruh kehidupannya difokuskan untuk menyiarkan suatu pesan—adalah Rasul Paulus. Ia mempertaruhkan hidupnya dalam mara bahaya, menyeberang benua dan samudera, dan berbicara kepada kelompok-kelompok yang telah mengambil keputusan dalam pikiran mereka tentang iman mereka, dan yang pada masa ini mungkin akan diistilahkan sebagai pilihan gaya hidup mereka. Namun, ia menyampaikan pesan yang sama akan kesehatan, keutuhan, dan kepuasan, seperti yang disampaikan Yesus. Pesan Paulus ini ini tentulah jauh lebih daripada propaganda. Ia tidak dapat hanya berbicara tentang penyembuhan. Ia harus mempraktekkannya!
Pada suatu saat—sesudah pesan Paulus menimbulkan heboh di Efesus, dan ia harus meneruskan perjalanan ke Troas (Efesus dan Troas adalah kota-kota di daerah Anatolia di Turki)—ia mengadakan pembicaraan, yang menurut catatan Alkitab “berlangsung sampai tengah malam.” Lalu, seorang pemuda bernama Eutikhus tertidur lelap pada waktu mendengarkan pembicaraan Paulus yang panjang. Ia jatuh dari jendela tingkat ketiga. “Ketika ia diangkat orang, ia sudah mati” (Kis. 20:7-12). Walaupun Alkitab tidak mencatat kata-kata Paulus dalam pembicaraannya, sangatlah mungkin bahwa ia telah mengingatkan hadirin tentang penyembuhan-penyembuhan Yesus, dan ia tentu menerangkan kepada mereka tentang pengutusan dan ajaran-ajaran Sang Guru. Sekarang Paulus sendiri harus membuktikannya—membuktikan Kebenaran yang menyembuhkan. Dan bukti itu memang diberikannya: “Paulus turun ke bawah. Ia merebahkan diri ke atas orang muda itu, mendekapnya, dan berkata: ‘Jangan ribut, sebab ia masih hidup.’ …mereka mengantarkan orang muda itu hidup ke rumahnya, dan mereka semua merasa sangat terhibur.”
Mary Baker Eddy menulis: “Khotbah yang sebaik-baiknya yang pernah dikhotbahkan adalah Kebenaran yang dipraktekkan dan dibuktikan dalam pemusnahan dosa, penyakit, dan maut. Karena Yesus mengetahui hal itu dan karena ia mengetahui juga bahwa satu kecenderungan hati akan berkuasa dalam diri kita dan menentukan arah hidup kita, maka ia bersabda: ‘Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan’” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, hlm. 201). Dengan menempatkan Roh sebagai titik pusat kehidupan, kita mengalami kesembuhan yang kita dambakan. Dengan menjaga agar tidak menerima keadaan pikiran yang dengan gampang menjadi tidak puas, kita tidak memberikan kuasa pada mentalitas pemasaran yang materialistis. Kepuasan yang hakiki terletak dalam pengertian bahwa ide-ide rohaniah memberikan dampak yang begitu besar dalam kehidupan kita, sehingga diangkatnya kehidupan