Ketika saya masih mengikuti Sekolah Minggu Ilmupengetahuan Kristen, saya sering berkunjung ke rumah guru Sekolah Minggu saya, seorang wanita yang lemah lembut dan anggun. Ia adalah juga seorang penyembuh dan guru Ilmupengetahuan Kristen yang terdaftar. Ia mempunyai rumah yang indah dengan perabot yang tertata rapi, segala sesuatu serasi dan bersih. Saya selalu merasa betah berada di rumahnya. Lebih dari itu, saya merasa suasana kasih Allah merangkum semua orang yang memasuki rumah tersebut.
Betapa besar keinginan saya untuk mempunyai rumah seperti itu apabila datang waktunya bagi saya untuk membina suatu keluarga kelak! Ketika saya mengemukakan keinginan saya ini kepada guru saya, ia meyakinkan saya bahwa pasti saya dapat memiliki rumah yang indah, karena segala sesuatu mungkin bagi Allah. Kasih Allah yang tidak berhingga pasti memenuhi semua keperluan kita, termasuk keperluan akan tempat tinggal yang layak.
Kata-katanya benar-benar menyemangati saya. Saya merasa bersyukur, penuh harapan dan sangat bahagia bahwa Allah dapat menyediakan rumah yang indah bagi semua orang, termasuk bagi saya juga. Saya membuka pikiran saya untuk mencapai tujuan tersebut.
Bertahun-tahun kemudian terbuka kesempatan bagi isteri saya dan saya untuk membangun rumah yang luas. Selama bulan-bulan tersebut saya merasakan rasa syukur yang sangat dalam kepada Allah atas penyediaanNya tersebut. Kami sangat mendambakan hari ketika rumah tersebut akan selesai dan kami dapat mengisinya dengan perabot yang terbaik serta sesuai untuk menjadikannya “pusat kasih sayang” sesuai dengan kata-kata Mary Baker Eddy yang tertulis dalam Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci: “Rumah tangga sendiri adalah tempat yang teramat sangat disayangi di bumi dan seharusnya menjadi pusat kasih sayang walaupun bukan batasnya” (hlm. 58:23).
Kami juga sangat terilhami oleh firman yang tertulis dalam Amsal: “Dengan hikmat rumah didirikan, dan dengan pengertian kamar-kamar diisi dengan bermacam-macam harta benda yang berharga dan menarik” (24:3, 4).
Dengan perasaan bersyukur yang melimpah, mulailah saya dengan hikmat dan pengertian mencari benda-benda yang “berharga dan menarik” untuk mengisi rumah tersebut, dengan harga yang terjangkau dan mengaturnya dengan sebaik-baiknya di dalam rumah kami. Bagi saya, setiap perabot dan setiap detil melambangkan pemberian Allah kepada kami. Karena pada waktu itu kami telah mempunyai sepasang anak, perempuan dan laki-laki, maka rumah kami benar-benar merupakan pusat kasih sayang.
Rasa syukur kami tidak terlukiskan dengan kata-kata ketika seluruh proses pembangunan selesai. Allah, Kasih ilahi, telah memenuhi semua keperluan kami, termasuk keinginan kami untuk membuat setiap orang yang datang berkunjung merasa dikasihi serta betah berada di rumah kami. Kedua anak kami tumbuh besar dan dewasa di rumah ini yang sangat mereka cintai. Seandainya kami bersandar sepenuhnya kepada sarana-sarana kebendaan, seperti uang, kami tidak akan pernah memiliki rumah tersebut. Namun bersandar kepada ide-ide Allah serta sumber-sumberNya yang tidak berhingga telah membawa berkat serta membimbing kami untuk membuktikan bahwa keperluan kami terpenuhi. Misalnya, ketika kedua anak kami masih kuliah, setiap enam bulan sekali kami harus menyediakan uang kuliah mereka. Jumlahnya tidak sedikit dan seringkali kami tidak tahu dari mana kami akan memperoleh uang tersebut. Tetapi kami ingat bahwa Ny. Eddy mengatakan: “Berjagalah di pintu pikiran. Jika kita hanya membiarkan masuk kesimpulan-kesimpulan yang ingin kita lihat diwujudkan dalam tubuh, maka kita akan menguasai diri kita sendiri dengan selaras” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 392). Kami berpikir: “Tentulah hal ini juga berlaku bagi pengalaman kami!” Kami juga berpegang teguh pada kata-kata Yesus ini: “….. Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu meminta kepadaNya” (Mat. 6:8). Kebenaran-kebenaran ini memberikan kepada kami suatu keyakinan yang sangat dalam, bahwa Allah akan memenuhi keperluan putra-putriNya. Sebagai hasilnya, setiap kali tagihan uang kuliah datang, dana untuk memenuhinya telah tersedia. Hal ini terjadi berulang kali sampai kedua anak kami diwisuda.
Saya ingat akan cerita Alkitab ketika murid-muridnya gagal menyembuhkan anak laki-laki yang sakit ayan dan bertanya kepada Yesus apa sebabnya. Yesus menjawab: “karena kamu kurang percaya” (lihat Matius 17:15-20). Ketika kesembuhan telah terjadi, ia menambahkan: “….. takkan ada yang mustahil bagimu.”
Sebagaimana halnya dengan setiap kesembuhan, memiliki tempat tinggal yang layak merupakan hal yang sangat wajar. Hal ini tidak tergantung kepada kondisi kebendaan ataupun tingkat sosial seseorang. Allah telah memberikan bukti yang indah ini kepada isteri saya dan saya. Kami juga sangat bersyukur bahwa rumah kami tidak hanya merupakan berkat bagi keluarga kecil kami yang hanya terdiri dari empat orang, tetapi selama bertahun-tahun juga merupakan berkat bagi orang lain. Kami telah dapat membantu beberapa sanak saudara yang tinggal di daerah terpencil di negeri ini dan yang datang ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah atau mencari pekerjaan dengan memperbolehkan mereka tinggal bersama kami sampai mereka mapan. Para sahabat dari luar negeri senang dapat mampir di rumah kami untuk beberapa hari bila berkunjung ke Indonesia. Teman-teman gereja dari kota lain pun selalu disambut hangat di rumah kami.
Yesus pernah berkata: “….. Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalanya” (Mat. 8:20).
Hal ini dikatakannya ketika beberapa orang memberikan alasan mereka mengapa mereka tidak dapat mengikutinya. Namun siapa pun juga yang bersedia mengikuti ajarannya, pasti akan menemukan suatu tempat untuk meletakkan kepala. Menurut pendapat saya, hal ini berarti memiliki rumah bagi keluarganya.
Hal ini benar-benar telah dialami oleh keluarga kami. Rumah kami tidak hanya semata-mata merupakan tempat untuk meletakkan kepala, tetapi lebih merupakan suatu lambang akan kasih Allah yang tidak berhingga, yang dinyatakan dengan berlimpah-limpah.