Apa harapan Anda untuk tahun mendatang? Atau untuk hari esok? Apakah Anda merasa percaya diri dengan masa depan Anda? Ataukah pandangan Anda terbebani dengan keraguan dan putus asa, bahkan ketakutan?
Bagi orang yang memproyeksikan masa depannya berdasarkan pilihan, sumber daya, risiko, atau keterbatasan yang terlihat di sekitar mereka saat ini, pengharapan yang rendah mungkin dapat dimaklumi. Percikan semangat mungkin terasa langka dan jarang.
Tapi kemudian suatu titik terang muncul dan memberi alasan untuk berharap—sebuah krisis keuangan dihindari, sebuah siklus kekerasan dipatahkan; perdamaian ditegakkan; hubungan diperbaiki; penyakit disembuhkan. Dan percikan-percikan optimisme tersebut menjadi api yang bergelora!
Tetapi apakah realistis jika dalam kehidupan yang tidak pasti ini kita secara konsisten bersikap optimis? Apakah kepercayaan yang teguh pada kemahakuasaan kebaikan membawa perubahan dalam pengalaman hidup kita?
Jika saja kita dapat mengajukan pertanyaan ini kepada penulis kitab Wahyu dalam Alkitab. Kita dapat mengatakan bahwa pengertian tertinggi Pewahyu mengenai kejadian yang akan datang dapat dikualifikasikan sebagai puncak optimisme—suatu pandangan mengenai kehidupan yang digambarkannya sebagai langit yang baru dan bumi yang baru.
Berikut adalah sebagian dari apa yang dilihatnya mengenai diri kita sebagai ciptaan Allah: "Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Why 21:4). Sungguh suatu janji yang memberikan harapan!
Sebaliknya, banyak orang menganggap langit dan bumi yang sempurna sebagai suatu impian, dibandingkan dengan dunia "nyata” yang tidak bisa ditebak di sekitar kita.
Namun, ada suatu penjelasan untuk perbedaan pandangan ini. Mary Baker Eddy menyatakan dalam karyanya Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci: "Yohanes ada pada bidang kehidupan kita, sungguhpun demikian ia melihat yang tidak dapat dilihat oleh mata—yang tidak nampak bagi pikiran yang tidak diilhami’’ (hlm. 573).
Meskipun pancaindera jasmaniah tidak mengakui kehadiran Allah atau kontinuitas kebaikan di seluruh ciptaanNya, tidak berarti hal itu tidak ada di sini untuk diketahui, dirasakan dan digunakan oleh semua orang. Pewahyu mungkin setuju dengan pendapat ini—bahwa pikiran yang diilhami itulah yang menjelaskan perbedaan bagaimana seseorang merasakan keajaiban dan kemungkinan hidup.
Tapi bagaimanakah kita mendapatkan keadaan pikiran yang diilhami?
Renungkanlah Firman Yang Pertama. Menurut buku ajar Ilmupengetahuan Kristen, Ilmupengetahuan dan Kesehatan, ada suatu "Asas ilahi" di belakang Firman tersebut, yang menjadi "dasar Ilmupengetahuan tentang wujud." Hal itu mengajarkan agar kita mulai dengan satu Pencipta, Roh yang satu, yang tidak berhingga baiknya, dan mendesak agar "jangan ada padamu allah lain."
Menghayati perintah ini, tidak mungkin kita berpikir bahwa kita—ciptaan Roh—adalah wujud fana yang dibuat secara kebendaan oleh pencipta lain. Zat bukanlah awal kita mulai, dan keadaan kebendaan tidak menentukan prospek masa depan kita. Firman Yang Pertama memalingkan pikiran kita sepenuhnya kepada Roh sebagai sumber kebaikan, kegiatan, kecerdasan, kehidupan.
Jika penalaran dimulai dari Roh dan tetap tinggal di dalam Roh, tanpa dipengaruhi penampilan dunia yang kebendaan, sesuatu yang luar biasa terjadi—ilham. Kita memperoleh semangat dari ilham. Kita merasa disegarkan, diperbaharui, dan dikuatkan untuk memahami bahwa hidup pada dasarnya adalah baik. Dan itu baru permulaannya saja.
Pikiran yang diilhami membawa keyakinan bahwa kehidupan di alam semesta yang rohaniah, kehidupan yang diciptakan dan diperintahi Allah, adalah sejati. Inilah alam semesta yang dilihat sekilas oleh Pewahyu. Kita turut mengambil bagian dalam pewahyuan ini—dan dengan demikian menjadi pewahyu-pewahyu zaman modern.
Bagi hati yang mudah menerima hal-hal yang rohaniah, penanggapan yang diilhami dan mengilhami akan kehidupan ini terasa benar-benar sejati dan nyata. Sesungguhnya, inilah satu-satunya kehidupan yang sejati. Dan kita akan menjiwai hidup dengan pemahaman ini manakala kita baik dan melakukan yang baik. Penjagaan dan bimbingan yang sempurna tercakup dalam kehidupan ini. Demikian juga sukacita dan kecerdasan. Begitu juga rasa tidak takut, yang mendatangkan kesehatan.
Dengan cara yang paling praktis yang dapat kita lakukan—yakni, pertumbuhan rohaniah dan penyembuhan—kita dapat menemukan bahwa kehidupan seperti itu benar-benar sejati. Dalam doa bersatu dengan Roh yang esa, memberdayakan kita untuk menjalani hidup melawan kesedihan, rasa sakit, penderitaan jenis apa pun—dan untuk menyatakan kehidupan seperti yang diciptakan dan dipelihara Allah.
Mungkinkah Pewahyu, yang melihat sekilas keagungan kebenaran ini serta kebaikan yang mutlak yang menyertai kehidupan dalam Roh, sangat bersemangat mengenai apa yang dilihatnya? Dan menginginkan agar sebanyak mungkin orang mengetahui bahwa Allah memiliki hal-hal yang indah dan menakjubkan untuk ditunjukkan kepada kita? Ya, hal-hal yang indah dan menakjubkan mengenai hidup yang diciptakanNya dan diberikanNya kepada kita sekarang dan di seluruh tahun-tahun mendatang?
Berhentilah sejenak dan renungkanlah kemungkinan-kemungkinan ini. Ini bukan sekedar percikan optimism mengenai masa depan. Ini adalah api yang terang benderang dan tidak terpadamkan!