Bagi saya, harapan adalah karunia yang menggembirakan yang secara indah diberikan Allah dan merupakan sarana untuk menyatakan iman kita kepadaNya. Harapan memberikan suatu kekuatan dan keberanian untuk menghadapi segala hal, bahkan penyakit yang membandel.
Ketika memasuki perguruan tinggi, saya mengalami gejala kronis yang mengarah pada infeksi kandung kemih. Gejala-gejala ini terasa sangat tidak nyaman dan mengganggu aktivitas saya sehari-hari.
Selama hidup, saya telah belajar mengandalkan Allah untuk mendapatkan kesembuhan karena saya belajar dalam Ilmupengetahuan Kristen bahwa Allah adalah Kasih dan Kasih sepenuhnya bersifat baik. Karena Allah adalah mahakuasa, maka kasih-Nya kepada saya, anak-Nya, juga mahakuasa. Tidak ada tempat untuk penyakit dalam kerajaan-Nya, karena penyakit dan idap-idapan bukanlah bagian dari kebaikan yang diciptakan Allah.
Namun, setelah setahun berdoa sendiri untuk mengatasi keadaan tersebut, saya tidak mengalami kemajuan. Saya merasa telah melakukan “semua langkah yang benar” dalam doa-doa saya. Bulan-bulan berlalu dan saya masih tetap tidak melihat perubahan. Bahkan, infeksi yang terus-menerus ini bertambah parah, dan saya memutuskan untuk meminta pertolongan medis. Saya bergulat sangat berat ketika mengambil keputusan ini karena bagaimanapun juga saya tidak ingin mengaku “kalah” dan berpaling kepada cara pengobatan, yang meskipun dilakukan dengan itikad baik, namun terasa tidak dapat diandalkan dan asing bagi saya. Saat itu, saya juga merasa bahwa dengan mencari solusi secara medis, saya kehilangan iman saya kepada Allah—serta harapan saya untuk sembuh—dan telah mengecewakan-Nya. Namun akhirnya saya menyadari bahwa hal tersebut tidaklah benar. Allah selalu mengasihi kita karena seperti Dia, Kasih adalah kekal dan selalu dapat dipergantungi. Allah tidak pernah menghakimi kita dan yang pasti Kasih-Nya pada saya tidak akan berkurang karena saya mengambil suatu keputusan tertentu.
Dokter-dokter yang saya temui sangat baik dan menghormati keputusan saya untuk tidak menggunakan berbagai obat-obatan tertentu. Pada setiap kunjungan, saya berbicara dengan para dokter, mengutarakan agar sedapat mungkin saya tidak minum pil. Setelah menjalani pengobatan selama setahun lebih, dokter spesialis memberitahukan bahwa saya menderita penyakit yang jarang ditemukan dan tidak dapat diobati dengan antibiotik. Belum ada pengobatan medis untuk penyakit ini dan tidak ada yang dapat saya lakukan kecuali menerima kondisi ini sebagai bagian dari hidup saya dan mengontrolnya. Saya disarankan untuk menerima kenyataan bahwa infeksi itu akan terus kambuh dan menjalani hidup senormal mungkin.
Ketika menerima berita buruk ini, saya menjadi sangat marah atas situasi saya. Saya ingin dapat mengatakan bahwa saya dengan serta-merta dipenuhi dengan pengertian bahwa hanya Allah yang berkuasa untuk benar-benar menyembuhkan saya, tetapi saya justru merasakan kepahitan dan frustrasi karena tampaknya tidak ada harapan sama sekali bagi saya.
Saya merasa sangat kecewa dan meragukan kemampuan saya untuk menyembuhkan. Meskipun saya masih mengasihi Allah dan ingin bergantung kepada-Nya, namun kemarahan saya membawa saya pada kekeputusasaan. Saya merasa tidak ada lagi yang dapat dilakukan bagi saya.
Oleh karena itu saya menghubungi ibu saya, yang juga seorang pelajar Ilmupengetahuan Kristen. Sebelumnya, saya telah bercerita kepadanya tentang apa yang sedang saya hadapi dan ibu mendukung semua pilihan yang saya ambil berdasarkan keputusan saya sendiri itu. Saat itu, saya merasa harus mengambil langkah yang rohaniah dan akhirnya memutuskan untuk berbicara kepada ibu, meminta nasehatnya. Saat berbicara dengan ibu itulah saya mulai menyadari bahwa langkah pertama menuju penyembuhan rohani adalah menghilangkan amarah saya dan menyatakan rasa syukur kepada semua orang, termasuk para dokter yang telah meluangkan waktu untuk membantu saya.
Saya hanya mulai dengan mengucapkan “terima kasih,” baik dengan bersuara maupun di dalam hati, membuang rasa frustasi dan memusatkan pikiran untuk bersyukur semata pada setiap orang dan untuk segala kebaikan yang terjadi dalam hidup saya. Menyatakan rasa syukur seperti ini membantu menegaskan kembali hubungan saya dengan Allah. Saya mulai menyadari bahwa kuasa penyembuhan rasa syukur merupakan kunci, tidak saja untuk membersihkan pikiran saya, namun untuk menyembuhkan juga. Kesadaran ini terjadi dalam hitungan menit, karena saya langsung diliputi dengan rasa damai dan tenang. Saya tahu saat itu juga bahwa Allah adalah satu-satunya penyembuh. Selama ini memang hanya Dia yang menyembuhkan! Saya harus membuka pikiran saya dan menerima penyembuhan yang telah diberikan-Nya kepada saya. Harapan membanjiri pikiran saya—tidak hanya mendatangkan kembali pengharapan saya untuk sembuh total namun juga menegaskan iman saya yang baru kepada Allah. Hanyalah Allah satu-satunya kuasa yang harus saya pergantungi dan saya sangat mengasihi-Nya untuk pemeliharaan-Nya pada saat itu juga.
Saya menyadari bahwa rasa syukur serta merta menghilangkan ketakutan dan saya merasa dipenuhi dengan kasih Allah. Sangat mustahil bagi saya untuk merasakan hal apa pun selain kebahagiaan, sukacita, dan kemurnian Allah, karena Allah hadir di sekeliling saya. Tidak dapat ada ketidaksempurnaan, seperti penyakit, dalam Hidup ilahi. Oleh karena itu, saya adalah cerminan sempurna kemurnian tersebut.
Dengan kesadaran ini, saya mengambil buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan dan membaca, “Bagi orang yang bersandar kepada yang tidak berhingga, yang memelihara segala-galanya, masa kini melimpah-limpah berkatnya” (hlm. vii). Saya tahu, tanpa ragu, bahwa Allah dapat menyembuhkan saya dan penyembuhan ini akan sempurna dan untuk selamanya. Tidak perlu mempercayai diagnosis bahwa saya harus menderita penyakit ini seumur hidup, karena pekerjaan penyembuhan Allah tidak setengah-setengah dan tidak menipu. Dia sepenuhnya murni dan baik.
Serta-merta saya tersenyum, mengetahui tanpa ragu bahwa saya telah mengalami kesembuhan. Pengakuan sederhana bahwa saya selalu dapat berpaling kepada Allah meskipun segalanya seakan memburuk, memenuhi saya dengan rasa syukur atas kasih Allah yang begitu dalam dan tidak habis-habisnya.
Saya telah menjalani hidup dengan mengelola penyakit itu ketika saya bergantung pada pertolongan medis, namun ketika saya merubah pemikiran saya untuk mendoa dan bergantung kepada Allah untuk mendapatkan kesembuhan, saya mengalami kebebasan fisik dalam hitungan jam. Gejala-gejala infeksi serta-merta hilang dan tidak kembali dalam tahun-tahun berikutnya. Saya merasa sangat nyaman.
Selain itu, harapan dan iman saya pada kasih Allah yang menyembuhkan tidak goyah dan tetap menjadi bagian yang paling dominan dalam doa saya sehari-hari.