Ketika masih di Sekolah Minggu, saya mempunyai seorang guru yang menekankan sesuatu yang selalu saya ingat sepanjang hidup. Kelas kami terdiri dari murid-murid pada usia indah ketika "Mengapa?" seakan menjadi jawaban standar terhadap segala penjelasan guru kami. Namun sikap kami itu tidak pernah mengganggu beliau.
Pada suatu hari Minggu, kami bertanya mengapa hal-hal buruk bisa terjadi pada orang baik—kecelakaan, kemiskinan, penyakit, konflik. Apa penyebab semua kejahatan yang seakan ada di mana-mana? Kami pikir pasti beliau akan bingung, tapi guru kami hanya tersenyum dan berkata, "Mengapa selalu merupakan pertanyaan yang salah." Beliau melanjutkan dengan menjelaskan bahwa mencari penyebab kejahatan dalam bentuk apa pun tidak akan menghancurkan kejahatan itu tetapi membuatnya nampak lebih nyata bagi kita karena kita membangun kejahatan itu di dalam pikiran kita.
Selama bertahun-tahun, saya memikirkan jawaban beliau dan akhirnya menyadari betapa penting untuk melucuti kejahatan dari keabsahan yang seakan dimilikinya dengan cara menyangkal sumber, perkembangan atau sejarahnya, dengan kata lain identitasnya—yang harus dimilikinya agar bisa eksis. Meskipun demikian, sungguh mengejutkan betapa sering saya mendapati diri saya mencari penyebab kemalangan atau penyakit dan berpikir, "Saya terbentur apa sehingga mendapatkan memar ini?" atau, "Dari mana saya tertular flu ini?" Tetapi, menelusuri sejarah kebendaan untuk memperkuat kesesatan selalu merupakan pendekatan yang salah. Mary Baker Eddy, penemu Ilmupengetahuan Kristen, memahami pentingnya menyangkal dan benar-benar menghapus catatan kebendaan yang palsu yang mencoba mempengaruhi kita atau menjadi bagian dari sejarah kita. Dalam otobiografinya yang singkat, Retrospection and Introspection, beliau menulis, "Sejarah manusia perlu direvisi, dan catatan kebendaan dihapuskan" (hlm. 22).
Pentingnya menjaga pikiran dengan lebih hati-hati diperjelas saat saya membaca buku yang baru dirilis berjudul Provenance yang dikarang oleh Laney Salisbury dan Aly Sujo. Buku ini menulis kisah nyata seorang artis-penipu zaman modern yang berusaha keras mengelabui orang banyak dengan berbagai lukisan palsu yang dikatakannya sebagai karya para pelukis besar terkenal. Penipu ini mendapati, bahwa dia bukan hanya perlu memperlihatkan lukisan yang meyakinkan kepada para calon pembeli dan dealer, dia juga harus memiliki provenance—catatan asal usul dan latar belakang sejarah lukisan tersebut—untuk meyakinkan keaslian lukisan itu. Pada kenyataannya, penipu ini mendapati bahwa pembeli bersedia mengabaikan kekurangan pada lukisan palsu itu— dengan alasan bahwa pelukis besar pun dapat mengalami hari buruk—asalkan catatan asal usulnya cukup meyakinkan. Jadi penipu ini berusaha keras untuk memasukkan catatan palsu ke dalam arsip museum dan lembaga-lembaga seni lainnya sehingga mereka akan memberikan penampilan “asli” untuk karya seni yang palsu itu. Menggunakan kombinasi karya seni palsu dan catatan asal-usul yang dibuat-buat, penipu ini berhasil meloloskan ratusan lukisan palsu sebagai lukisan asli, membodohi para dealer seni terkenal dan pihak yang berwenang.
Hal ini membuat saya lebih berhati-hati dalam mempertimbangan keabsahan catatan asal-usul laki-laki dan perempuan ciptaan Allah. Apakah saya bersedia menerima pemalsuan yang tidak sempurna yang disebut tubuh kebendaan, hanya karena sejarah yang meyakinkan yang menyertainya? Apakah akumulasi jumlah tahun pengalaman hidup merupakan alasan yang sah untuk mengakui bahwa saya anak Allah? Apakah catatan asal-usul saya juga mencakup masalah yang tidak terpecahkan? Atau beberapa sifat yang diturunkan? Apakah ini sejarah seseorang yang sesungguhnya? Ataukah hanya cerita fiksi populer yang disajikan untuk kita percayai?
Bab kesembilan Injil Yohanes dalam Alkitab menyajikan ilustrasi yang baik bahwa kesibukan memikirkan catatan sejarah insani dapat mengalihkan upaya penyembuhan kita, dan cara melucuti rayuan kesesatan tersebut. Menurut cerita Yohanes, murid-murid Yesus membawa kepadanya seorang laki-laki yang lahir buta, dan, seperti kelas Sekolah Minggu saya, yang pertama kali dipikirkan oleh murid-murid Yesus adalah mencari penyebabnya—"Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?"(Yohanes 9:2). Pertanyaan yang salah! Apakah Yesus berkutat dengan penalaran seperti itu? Tentu tidak. Dia tidak diperdayai oleh sebuah catatan sejarah yang menyertakan dosa atau kesalahan pada orang tua atau anak, dengan demikian menjadikan kesesatan sejati. Setelah menolak teori para murid, Yesus menegakkan kebenaran mengenai hak waris orang itu—sifatnya yang asli sebagai anak Allah yang tidak berdosa. Pemahaman Yesus yang kokoh mengenai sifat sesungguhnya orang itu—dan manusia ciptaan Allah pada umumnya—membebaskanYesus untuk tidak mempertimbangkan catatan asal-usul yang telah mengalihkan perhatian murid-muridnya. Demikian pula, kebutaan yang sudah lama dialami orang itu maupun yang disangkakan sebagai alasannya, tidaklah relevan bagi Yesus, selain “karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia [pria tersebut]" (Yohanes 9:3). Yesus kemudian menyembuhkan orang itu, menghapus catatan kebendaan palsu mengenai kebutaan yang dideritanya, dan menulis ulang sejarah hidupnya yang hanya mencatat kebenaran dan keutuhan.
Bagaimana kita mencoret atau menghapus catatan kebendaan dan dengan demikian merevisi sejarah insani kita? Buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan mengatakan, bahwa kita perlu "menujukan pandangan kita kepada ceritera yang rohaniah tentang ciptaan, kepada yang seharusnya diukirkan pada pengertian dan hati ‘dengan ujung intan’ dan pena malaikat” (hlm. 521). Bab pembukaan Alkitab memaparkan catatan rohaniah ini. Bab itu mulai dengan cahaya pengertian rohaniah yang menerangi semua karya Tuhan dan membuatnya dapat diakses oleh semua orang. Dalam terang yang menyinari semuanya ini, semua ciptaan terlihat baik semata-mata—keserupaan Allah yang serba baik. Tidak ditemukan kesesatan di mana pun, tidak ada konflik, tidak ada ketidakselarasan, tidak ada keterbatasan atau kematian.
Wujud rohaniah, laki-laki dan perempuan, adalah bagian dari ciptaan rohaniah ini, dan diakui sebagai keserupaan yang seutuhnya dan sempurna Budi ilahi. Setiap aspek ciptaan didefinisikan sebagai pernyataan lengkap Sang Pencipta yang ilahi, dan oleh karena itu catatan rohani ini sudah mencukupi. Inilah dasar dari semua yang dapat kita ketahui, atau perlu kita ketahui, mengenai manusia dan alam semesta. Meskipun demikian, sepanjang sejarah, setiap kebudayaan telah mengembangkan sendiri kisah-kisah penciptaan untuk menjelaskan sifat manusia dan alam semesta. Bahkan saat ini, para ilmuwan sedang sibuk mencoba mengenali kebenaran berdasarkan teori big bang, atau melalui ilmu genetika dan evolusi. Tetapi sebanding teori-teori ini didasarkan pada zat, teori tersebut tidak memiliki dasar, dibangun di atas catatan asal-usul yang palsu, yang diselipkan ke dalam sejarah manusia untuk menopang pernyataan bahwa substansi bersifat kebendaan dan manusia bersifat fana. Demi kemajuan rohaniah, catatan kebendaan ini harus dihapus, dan ini hanya dapat dilakukan melalui Kebenaran ilahi.
Dalam terang Kebenaran ilahi, catatan kebendaan yang palsu tentang penciptaan—cerita Adam dan Hawa, dalam samaran apa pun—kehilangan cengkeraman dan pengaruhnya atas pikiran manusia. Meskipun ular dengan gigih menawarkan sejarah dosa sebagai kenyataan yang tak terhindarkan, suara Kebenaran akan selalu menyertai kita dan terus-menerus menegaskan, baik dalam pikiran maupun perbuatan, bahwa Allah hadir di mana-mana dan kuasaNya tidak terbantahkan. Ketika kita mendengarkan suaraNya dan bersedia melihat kesejatian rohaniah, hal-hal kebendaan yang mengganggu menjadi kurang sejati, kurang meyakinkan, sampai mereka dipahami sebagai suatu “tipuan semata-mata" sebagaimana dijelaskan oleh Ny. Eddy (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hal 99). Lagi pula, apa yang sebetulnya pernah kita lihat di dalamnya?
Kesadaran ini membawa kesembuhan, karena Kristus—pesan Allah akan kebenaran rohaniah—datang ke dalam kesadaran manusia, meluhurkan pikiran dan mengungkapkan kesempurnaan kita. Kristus tidak memiliki catatan sejarah yang kebendaan. Seperti dinyatakan dalam Alkitab, "Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya" (Ibrani 13:8). Begitu pula kita. Hak waris kita yang asli adalah kuasa atas kejahatan, dan kita memiliki kemampuan untuk menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa tahun yang lalu, saya mendapat pengalaman yang membantu saya melihat bahwa saya dapat melakukan hal ini. Saya mendapati bahwa saya mengeluarkan darah di air seni, dan hal ini membuat saya khawatir. Meskipun saya tidak pernah tergoda untuk mencari pendapat dokter mengenai penyebabnya, ini tidak menghentikan saya untuk merumuskan berbagai macam teori mengenai keadaan tersebut. Godaan untuk membuat diagnosis sendiri—untuk memberikan kesulitan fisik itu suatu catatan asal-usul yang palsu guna mendukung gambar yang kebendaan—sangat kuat. Tidak perlu saya jelaskan bahwa "Mengapa?" sekali lagi adalah pertanyaan yang salah, dan hanya berfungsi sebagai pengalih perhatian ketika saya bekerja keras untuk memalingkan pikiran kepada Allah dalam doa.
Setelah satu dua hari situasi tetap tidak berubah, saya pikir lebih baik meminta bantuan doa seorang penyembuh Ilmupengetahuan Kristen. Penyembuh yang saya telpon adalah seorang wanita yang sangat baik yang telah saya kenal sepanjang hidup dan saya agak malu mengutarakan masalah ini kepadanya. Ketika menelpon, saya mengatakan tidak lebih dari "Saya butuh bantuan." Dia tidak menunggu untuk mendengar rincian penyakit saya—ia tidak memerlukannya. Tanggapannya cepat dan tepat sasaran: "Tidak! Tidak ada yang dapat memisahkan Anda dari Allah!" Dan dia melanjutkan dengan menegaskan bahwa saya tercakup dalam catatan rohaniah tentang Allah yang sempurna dan manusia sempurna. Doa penyembuhan beliau adalah seperti yang dibicarakan Ny. Eddy dalam buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan ketika menjelaskan tentang Yesus, "... yang doanya yang penuh kerendahan hati adalah pernyataan yang sangat dalam dan saksama tentang Kebenaran — tentang keserupaan manusia dengan Allah dan kesatuan manusia dengan Kebenaran dan Kasih." (hal. 12).
Gejala penyakit hilang dengan segera, dan tidak pernah kembali, tetapi dampak pengalaman ini bagi saya adalah, saya dapat melihat pendekatan yang diambil penyembuh itu. Beliau tidak mulai dengan mencari-cari sebab yang khayal bagi akibat yang khayal. Beliau menolak catatan kebendaan sebagai tidak penting dan langsung berpaling ke catatan rohaniah—keselarasan manusia yang tak terputuskan, yang ditegakkan oleh hukum ilahi. Catatan rohaniah ini selalu benar dan tidak bisa berubah.
Jadi apa yang berubah? Sejarah manusia direvisi agar bersesuaian dengan catatan rohaniah akan kesempurnaan. Hal ini datang dengan masuknya Kristus ke dalam kesadaran saya, dan menjadikan nyata wujud dan hak waris saya yang sesungguhnya, yang tidak mengandung satu pun unsur kejahatan. Semua bukti yang mendukung pernyataan palsu akan penyakit tidaklah lebih dari sebuah karangan yang dirancang oleh "pikiran yang kedagingan" (Roma 8:7) untuk meyakinkan saya bahwa kejahatan dapat menjadi nyata dalam bentuk yang menakutkan. Tetapi tidak ada sejarah pribadi dan palsu yang dapat bertahan sebagai sesuatu yang benar ketika dikoreksi oleh kesejatian yang rohaniah. Tidak ada saran kejahatan yang memiliki keabsahan.
Baik kendala yang kita hadapi berupa pendapat mengenai keuzuran, penyakit yang lama tidak sembuh, atau pandemi yang mendapat momentum melalui pengakuan bersama dan ketakutan, semua itu hanya didukung kebohongan, suatu catatan asal-usul yang palsu. Dengan pengetahuan yang jelas tentang Allah dan Kristus-Nya, kita tidak pernah tertipu untuk menerima pemalsuan sebagai sesuatu yang sah atau sejati. Sebaliknya, kita akan menolaknya, menghapusnya, dan menemukan hak waris asli kita sebagai anak Allah.