Waktu menunjukkan kira-kira jam 8:00 malam di bulan November yang dingin ketika anak saya yang berumur lima tahun datang ke kamar tidur saya dan mengatakan bahwa kamarnya sedang terbakar.
Ketika itu suami saya masih di kantor, dan saya beserta keempat anak saya langsung bergegas keluar. Anak saya yang berumur lima tahun selamat tanpa luka apa pun, oleh karena itu saya menyuruh semua anak saya masuk ke dalam mobil (yang terletak agak jauh dari rumah) sambil mengenakan mantel untuk menutupi piyama mereka, dan menyuruh putera sulung saya untuk menelpon kantor pemadam kebakaran, sementara saya mencoba memadamkan api. Tetapi api sudah menyebar sangat cepat di sekitar tempat tidur dan naik ke dinding….satu ember air tidak ada gunanya! Saat itu saya tahu saya harus keluar.
Sementara api berkobar, kami berpelukan di dalam mobil. Kami melihat panas yang menghempas jendela depan dan, beberapa detik kemudian, jendela di loteng pun ikut terhempas. Di saat api berkobar tinggi, kami mendengar sirene mobil pemadam kebakaran menuju rumah kami.
Di satu pihak, saat itulah berkat mulai terlihat. Gambar kebendaan mengatakan bahwa suatu kecelakaan, suatu kesalahan, telah terjadi, dan sebagai akibatnya kami kehilangan semuanya. Tetapi Allah tahu keperluan kita sebelum kita mengetahuinya.
Kami tinggal di kota kecil, dan waktu itu, kira-kira 20 tahun yang lalu, hanya ada satu kantor pemadam kebakaran dan para petugasnya bekerja secara suka-rela . Biasanya jika ada telpon masuk, semua petugas pemadam kebakaran akan secepatnya menuju kantor pemadam kebakaran, dan kemudian mobil pemadam kebakaran akan meluncur ke lokasi kebakaran. Tetapi, malam itu, mereka semua sedang berada di kantor, melakukan latihan pemadaman kebakaran, sehingga mereka dapat langsung pergi menolong kami. Kami tinggal kira-kira satu mil dari kantor pemadam kebakaran, jadi mereka cepat tiba setelah menerima telpon.
Ketika petugas pemadam kebakaran mengetahui bahwa tidak ada lagi orang di dalam rumah, mereka menyuruh kami ke rumah tetangga sebelah. Peristiwa ini terjadi sebelum ada telpon genggam, dan saya minta izin tetangga saya untuk menggunakan telponnya guna menelpon penyembuh Ilmupengetahuan Kristen. Dengan penuh kegugupan saya mengatakan kepada penyembuh itu, “Rumah saya terbakar!” Saya sudah tidak begitu ingat apa yang dikatakan penyembuh, tetapi saya tidak bisa merasakan bahwa ia benar-benar memahami keseriusan situasi yang kami hadapi, jadi saya mengulangi lagi, “TIdak, anda tidak mengerti. Rumah itu sedang dilahap api sekarang!” Penyembuh itu dengan tenang berkata bahwa ia akan berdoa, dan memberikan pernyataan ini, yang dikutipnya dari Yohanes 14:2: “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal.” Bagi saya saat itu, kutipan tersebut terdengar aneh, tetapi itu adalah pernyataan kebenaran dan merupakan salah satu contoh tentang Kristus yang menyembuhkan, pernyataan Allah, yang sedang bekerja memenuhi kebutuhan kita, dan hadir, meskipun saat itu saya belum menyadarinya. Dengan persetujuan saya, penyembuh itu menelpon sepasang suami istri dari gereja kami yang juga tinggal di kota kami, sehingga mereka bisa membantu memberikan pakaian dan keperluan lain.
Dalam waktu satu jam, petugas pemadam kebakaran bisa memadamkan api. Mereka tiba dengan cepat sehingga lantai pertama rumah kami, termasuk sebagian besar isinya, dapat diselamatkan, tetapi lantai kedua sudah hampir habis terbakar. Kemarahan, kegelapan, dan drama yang begitu hebat di malam itu menguasai pikiran saya. Saya bertanya-tanya, Mengapa kami—mengapa sekarang? Dan yang terutama, Bagaimana api bisa timbul? Mungkinkah anak saya yang berumur lima tahun penyebabnya? Apa yang akan terjadi bila anak saya tidak keluar dari kamarnya, tetapi malah bersembunyi di lemari pakaian?
“Banyak tempat tinggal?” Lebih tepat, “banyak pertanyaan”!
Tetapi dari kegelapan terbitlah fajar dan terang, doa yang memberikan ketenangan dan penghiburan.
Keesokan harinya kami bisa tinggal sementara di rumah teman yang berada di kota sehingga anak-anak dapat tetap sekolah. Tetapi Perayaan Bersyukur jatuh pada minggu berikutnya, dan kami ingin bisa keluar dari rumah teman kami hari Selasa, supaya tidak menyusahkan mereka. Jadi kami hanya punya waktu kurang dari seminggu untuk mencari tempat tinggal, juga makanan dan pakaian dan mungkin menyewa perabotan … untuk satu keluarga yang terdiri dari enam orang dan seekor anak kucing yang baru (yang selamat dari kebakaran). Pada mulanya, tugas yang begitu banyak ini sangat membebani pikiran saya.
Waktu itu, saya boleh dikatakan masih baru dalam Ilmupengetahuan Kristan. Saya menemukan Ilmupengetahuan Kristen kira-kira dua tahun sebelumnya ketika saya sembuh dari suatu penyakit yang serius, dan sejak itu saya tidak pernah lagi menengok ke belakang. Saya sangat bersyukur untuk kesembuhan tersebut—tetapi kebakaran ini terasa seperti suatu kemunduran! Saya begitu bersyukur karena tidak ada seorang pun yang luka dalam kebakaran tersebut, tetapi saya juga marah dan kalut. Saya tidak melihatnya sebagai suatu kesempatan untuk bisa maju. Tetapi kemajuan itu terjadi.
Kemajuan itu dimulai dengan menghilangkan rasa marah karena suatu kesalahan yang mengakibatkan kerugian yang sangat besar telah terjadi. Beberapa malam kemudian, anak saya yang kecil dengan berlinang airmata mengakui bahwa ia dengan tidak sengaja menimbulkan kebakaran tersebut karena bermain dengan korek api di kamarnya. Bisa dibayangkan perasaan bersalah yang dirasakannya—lebih-lebih lagi ketika kedua kakaknya, yang kehilangan barang-barang yang sangat mereka sukai, menjadi marah sekali kepadanya. Tetapi penyembuhan pun terjadi. Tidak seorang pun dalam keluarga kami, menginterogasi anak tersebut, dan saya pun tidak pernah menyalahkannya. Sebaliknya, saya mengatakan kepadanya bahwa kami semua mengasihinya, dan bahwa kami semua akan melihat berkat dari kejadian ini. Dan saya mengatakan kepadanya, bahwa yang lebih penting, Allah mengasihinya. Saya tahu bahwa Allah menghargai sifat tidak bersalah anak saya; Allah bukanlah suatu pribadi yang berkuasa yang berada di tempat yang jauh dan sedang menghakimi atau mengutuknya untuk suatu kesalahan yang diperbuatnya. Anak saya mempunyai kesanggupan untuk merasa dikasihi dan dipelihara oleh Ibu-Bapanya; sama seperti kita semua.
Kami juga merasa bahwa mengunjungi penyembuh akan menjadikan penyembuhan tersebut tuntas, dan ternyata itulah yang terjadi. Dengan cepat, pikiran yang menyatakan bahwa suatu kesalahan yang tidak bisa diperbaiki telah terjadi, mulai pudar. Kesesatan hilang sama sekali, ketika keluarga kami—termasuk anak saya itu—menyadari bahwa Allah memberkati kami dan kami tidak dapat terjebak mengingat-ingat masa lalu.
Hal penting lainnya adalah berdoa untuk “tempat tinggal”. Rumah kami rusak berat, dan untuk memperbaikinya perlu waktu paling sedikit enam bulan sampai setahun. Kami memerlukan tempat untuk tinggal. Tetapi berbeda dengan keadaan pasar rumah saat ini, rumah yang dipasarkan di kota kami saat itu sangat jarang. Kalaupun ada, biasanya langsung dibeli orang. Saya menghubungi agen real estat, tetapi tidak ada rumah yang sedang dipasarkan. Tidak ada satu pun.
Ketika saya sedang berdoa, saya menyadari bahwa keluarga saya dan saya tidak mungkin bisa “terlantar”, atau berada di luar penjagaan Allah untuk sesaat pun. Saya mengetahui bahwa suatu kesembuhan selalu sempurna dipandang dari segi mana pun. Dengan perkataan lain, sementara kesempatan untuk membuktikan kekuatan doa di dalam kehidupan kami terus berkembang, kami bisa mengharapkan untuk mengalami kelangsungan dan pembaharuan di semua bidang. Pesan-pesan malaikat Tuhan bukannya hadir untuk menyelamatkan kami, dan kemudian tidak hadir ketika kami membutuhkan tempat tinggal. Kami tidak “salah berdoa” jika mengharapkan bisa meneruskan pekerjaan kami, kehidupan kami, dan sekolah anak-anak kami. Saya melihat bahwa kesembuhan datang dengan segenap unsurnya, bukan hanya beberapa di antaranya saja.
Dengan pemikiran ini, saya dibimbing untuk menelpon seorang teman yang baru saja memulai bisnis real estat. Ia tahu bahwa ada dua rumah di kota kami yang kosong dan langsung bisa ditempati. Rumah tersebut tidak terdaftar di pasar real estat yang resmi—tapi teman saya itu tahu. Dan asuransi kami cukup untuk menutup sewanya.
Kami pindah satu minggu setelah kebakaran. Rumah tersebut berada di atas bukit, mempunyai empat kamar tidur, dapur yang super modern, dan sebuah ruang dansa dengan jendela bundar yang besar sekali di sebelah atas. Sebuah ruang dansa dengan pemandangan indah!—benar-benar sebuah istana bagi kami. Saya ingat menelpon penyembuh dan berkata, “Anda betul sekali—di rumah Bapa saya ada banyak istana!” Kamar tidur kami yang baru mempunyai jendela yang besar dengan kisi yang membuat jendela tersebut seakan terdiri dari banyak jendela kecil. Kalau saya sedang mengalami kesulitan tidur, bergulat mengatasi gambar yang menakutkan saat terjadi kebakaran, saya akan memikirkan sesuatu yang bisa saya syukuri, sesuatu untuk setiap jendela kecil di kamar tidur—dan kemudian saya akan tertidur.
Petugas pemadam kebakaran mengatakan sebaiknya semua pakaian dan barang yang kami selamatkan dibuang: “Semua barang-barang ini akan selalu berbau asap. Tidak usah berusaha menyelamatkannya.” Tetapi ketika terus berdoa, saya teringat cerita Sadrakh, Mesakh dan Abednego. Mereka bisa keluar tanpa cedera dari perapian yang menyala-nyala: “Rambut di kepala mereka tidak hangus, jubah mereka tidak berubah apa-apa, bahkan bau kebakaranpun tidak ada pada mereka.” (Daniel 3:27). Percaya kepada petunjuk Allah, saya mencuci barang-barang kami, dan ternyata barang-barang itu seperti masih baru. Seakan kesesatan malam itu benar- benar hilang dibasuh busa sabun.
Di hari Perayaan Bersyukur keluarga kami sangat bersyukur untuk lingkungan baru kami, untuk kedermawanan masyarakat kota itu, dan untuk para keluarga yang mengetahui keadaan kami dan mengirimkan apa-apa yang kami perlukan. Kami mulai membangun kembali rumah kami, sementara berusaha agar dapat terus bekerja dan agar anak-anak dapat hidup senormal mungkin. Dan ketika Natal tiba, kami merasa terilhami untuk merayakan situasi kami, rasa syukur kami, dan kegembiraan kami. Kebaikan—bukan kesalahan atau kehilangan— ada di mana-mana, dan saya bisa melihat hal itu siang malam dari jendela kami di atas bukit.
Setahun kemudian, dengan suka cita kami sudah kembali ke rumah kami. Pada saat membangun, kami bahkan bisa memperbaiki lantai dua sesuai denah baru yang dilengkapi insulasi yang memadai dan lebih sesuai untuk keluarga kami. Kebaikan Allah selalu tersedia, selalu datang.
Ketika saya merenungkan kembali pengalaman ini, saya teringat akan pernyataan Mary Baker Eddy dalam Pulpit and Press: “Jaminan kita adalah keyakinan bahwa kita tinggal dalam Kebenaran dan Kasih, tempat tinggal abadi manusia” (halaman 3). Di tempat itulah kami selalu berada.