Keponakan kami, Katie, mengacungkan tangannya yang mungil ke atas dan menunjuk dengan jarinya satu persatu, ketika dengan hati-hati dia mengulang lima kata dari ayat Alkitab yang diajarkan ibunya. “Bersyukurlah-di-dalam-segala-keadaan,” demikian ucapnya dengan manis, penuh kesungguhan. Susunan kata-kata itu terdengar baru bagi saya, tetapi saya memahami maksudnya. Menurut Alkitab, surat Rasul Paulus itu demikian bunyinya: “Mengucap syukurlah dalam segala hal” (1Tes 5:18).
Saya tahu pesan itu. Saya tahu bahwa penting mengakui berkat yang dikaruniakan Allah, dan saya berusaha melakukan hal itu dengan tekun. Tetapi bersyukur di dalam segala keadaan? Dan dalam segala hal? Sebelumnya, saya tidak banyak memikirkan bagian tersebut. Tetapi hari itu, saat seorang gadis kecil yang mengenakan jaket biru berdiri di dapur saya sambil mengucapkan terjemahan yang berbeda dari Ayat Suci tersebut, pesan yang sepenuhnya menjadi jelas sekali bagi saya. Bagian yang mengatakan “di dalam segala keadaan” memercikkan daya tarik serta janji yang baru bagi saya.
Paulus menulis berdasarkan pengalamannya sendiri yang teruji dengan baik. Dalam penganiayaan, penjara, penderitaan, dan segala macam kesukaran, dia terus-menerus bersyukur kepada Allah, dan menganjurkan sesama orang Kristen untuk melakukan hal yang sama. Tanpa ragu dia tahu, bahwa tantangan yang dihadapinya hanya sementara, dan bahwa keselamatan pasti datang. Kebangkitan Kristus Yesus—kemenangan yang menakjubkan atas maut dan kebencian—tidak pernah jauh dari pemikiran Paulus.
Saya berpikir, bahwa hati yang setiap saat benar-benar bersyukur kepada Allah, pastilah sangat damai dan penuh terang. Dari pegalaman masa lalu, saya tahu benar kegersangan yang kita kenakan kepada diri sendiri melalui keluhan serta rasa tidak bersyukur. Saya bertanya-tanya, “Di mana saya berada selama ini?” Rasa syukur bukanlah sesuatu untuk kita buka atau tutup, seperti keran air. Rasa syukur seharusnya tidak kita simpan hanya untuk peristiwa-peristiwa khusus, ketika semuanya berjalan mulus, atau sesudah kita menerima kebaikan atau kesembuhan. Sesungguhnya rasa syukur haruslah merupakan arus yang kuat dan tetap dan tidak dapat dibendung, akan kasih serta puji-pujian kepada Allah, dan yang melampaui segala keadaan. Hati yang bersyukur, seperti kejujuran, kemurnian, rakhmat, dan kesetiaan, mencirikan roh Kristiani akan kepercayaan kepada kebaikan, yang tidak dapat luntur.
"Bersyukurlah-di-dalam-segala-keadaan."
Lebih dari sekedar kata-kata atau serangkaian tindakan, yang diucapkan atau dilakukan sebagai suatu kewajiban, rasa syukur yang terus-menerus dipanjatkan, sebetulnya mencerminkan suatu pandangan hidup—pandangan hidup yang dibentuk oleh pemahaman yang semakin berkembang, bahwa Roh ilahi yang satu adalah maha-kuasa dan tidak terkalahkan. Seperti dijelaskan dalam salah satu kamus Alkitab, “Memanjatkan rasa syukur menyatakan suatu sikap terhadap Allah ....” (Abridged Theological Dictionary of the New Testament, Geoffrey W. Bromley, hlm. 1308).
Selama berbulan-bulan sesudah kunjungan Katie, ayat Alkitab tersebut berulang-ulang datang, mendorong saya untuk lebih menyatakan rasa syukur yang tidak terputus. Saya menyambut pikiran itu, karena saya mempunyai keinginan yang tulus untuk mematuhi anjuran Alkitab tersebut. Tentu saja, saya tidak dapat melupakan cara Katie menyampaikannya dengan begitu manis, sehingga pesan itu tidak pernah terasa sebagai suatu teguran yang keras. Sebaliknya, pesan tersebut terasa sebagai ajakan yang membesarkan hati untuk bangkit kepada pandangan yang lebih rohaniah dan cerah, di mana kasih serta penjagaan Allah yang mahakuasa dapat lebih nyata.
Terkadang, saya merasa seperti dilatih, dengan cara yang penuh kegembiraan, agar bugar secara mental setelah mengalami masa lesu beberapa waktu: “Ayolah. Gerakkan pikiranmu! Akui dan bersyukurlah untuk setiap kebaikan yang terpikir olehmu, tidak peduli sekecil apa pun, dan jangan kendur. Berlatihlah mengucap syukur untuk semua karunia rohaniah Allah. Untuk semuanya. Dan di dalam semuanya—di dalam segala keadaan. Bersyukurlah untuk berkat yang kelihatan, dan yang tidak kelihatan. Untuk kesembuhan yang telah Anda dapatkan, dan untuk kesembuhan-kesembuhan yang akan datang. Untuk hal-hal yang kecil. Dan yang besar. Isilah bagian-bagian yang kosong sehingga tidak ada tempat untuk rasa kasihan terhadap diri sendiri, dan pertahankan semangat ini! Kurangilah bersungut-sungut, nyatakan lebih banyak rasa syukur. Ini adalah sesuatu yang dapat kau lakukan setiap hari, setiap saat, di mana pun engkau berada. Ini kewajibanmu kepada Allah. Dan selain itu, ini baik untukmu!”
Tak dapat diragukan—hal itu baik untukku. Hal pertama yang saya perhatikan adalah, bahwa semakin konsisten saya bersyukur, semakin bahagia dan penuh daya hidup saya rasanya. Pada suatu hari datang ide untuk membaca Buku Nyanyian Ilmupengetahuan Kristen dari awal sampai akhir, paling tidak menyanyikan atau membaca dengan bersuara beberapa nyanyian setiap sore. Saya menemukan begitu banyak nyanyian yang intinya bersyukur serta memuji-muji Allah dengan penuh kegembiraan. Membaca Buku Nyanyian itu sangat luar biasa; setiap nyanyian yang saya nyanyikan membuat saya lebih menyadari kesejatian akan kebaikan Allah bagi diri saya.
Secara keseluruhan yang terjadi adalah, berangsur-angsur pandangan saya bergeser menuju hal-hal Roh. Damai, kesehatan, kemurnian, kesempurnaan, kebaikan yang berkelanjutan, semakin terasa sejati dan nyata bagi saya. Sebaliknya, zat serta keadaan zat menjadi kurang mengesankan, kurang menakjubkan. Pikiran saya semakin berpusat kepada Allah.
Tidak lama kemudian, saya sadar telah mengalami kesembuhan ketika tengah memanjatkan rasa syukur itu. Beberapa bulan sebelumnya, tanpa sebab yang jelas saya merasa tertekan dan sangat terbebani. Selama beberapa minggu, perasaan tidak mampu, tidak memiliki tujuan, dan kefanaan membuat saya tertekan setiap hari. Ini sangat asing bagi saya, tidak seperti diri saya dan juga bukan sesuatu yang ingin saya rasakan. Tetapi rasanya sulit menghilangkan perasaan tersebut. Saya pun tidak merasa sehat secara fisik. Saya telah berdoa untuk kesembuhan, dan memang ada sedikit kemajuan, tetapi bukan kesembuhan yang tuntas. Sekarang saya tahu, meskipun saat itu tidak saya sadari, bahwa jawaban atas doa saya telah datang dalam bentuk ayat Alkitab yang saya sebutkan di atas: “Bersyukurlah di dalam segala keadaan.” Kasih ilahi telah menyediakan sarana yang bersifat rohaniah dan ilmiah—kegiatan yang menyembuhkan yang datang dari hati yang bersyukur. Terserah kepada saya untuk memungut sarana yang ampuh tersebut dan memanfaatkannya, untuk bersyukur kepada Allah tanpa syarat, dan tanpa dibebani pamrih.
Sedang saya melakukan hal tersebut, baik kebisingan mental maupun gejala fisik itu sirna. Tidak ada tempat untuk hal-hal yang negatif sementara saya sibuk memuji serta mengasihi Allah. Hal-hal negatif tidak dapat bertahan di dalam kesadaran yang dipenuhi Kasih. Inilah pelajaran yang tidak boleh kita lupakan, dan yang harus kita ingat dari waktu ke waktu: rasa syukur kita panjatkan terlebih dahulu; kesembuhan mengikutinya.
Ketika seorang teman memberi kita suatu hadiah yang istimewa, atau membantu kita dengan salah satu cara, kita menyatakan terima kasih. Demikian juga ketika kita berdoa dan sembuh, dengan sendirinya kita bersyukur kepada Allah dan dengan senang hati mengakui pengaruh ilahi di dalam hidup kita. Tetapi ketika keadaan sulit—ketika kita masih merasa tidak sehat dan mungkin juga takut—mengucap syukur mungkin sangat jauh dari pikiran kita. Sesungguhnya, tanggapan yang biasanya kita berikan adalah, “Saya akan senang saat semua ini sudah berlalu dan teratasi—setelah itu barulah saya akan bersyukur.” Tetapi justeru di tengah kesulitan, sebelum kesembuhan terjadi—itulah waktu yang tepat untuk memuji-muji dan mengagungkan dan memuliakan Allah.
Kurangi bersungut-sungut, lebih banyak bersyukur. Itu baik untukmu!
Yesus tidak menunggu sampai keadaan menjadi baik untuk bersyukur kepada Sang Bapa. Sebelum memberi makan ribuan orang di tempat di mana hanya ada sedikit sekali makanan, ia mengucapkan syukur terlebih dahulu. Sebelum membangkitkan Lazarus dari maut, Yesus terlebih dahulu bersyukur kepada Allah. Bahkan sebelum disalib, dia mengucap syukur. Bagaimana Yesus dapat melakukan hal itu? Karena Yesus memahami bahwa Kasih dan Hidup ilahi, bahkan saat itu, memberinya kemenangan atas kebencian dan maut. Meskipun sangat menyadari kesulitan yang akan dihadapinya, Yesus sudah tahu kesudahannya. Dia tahu bahwa kebangkitan harus mengikuti semua itu.
Haruskah kita bersyukur bahkan saat kita—atau orang lain—sakit parah atau menghadapi kesulitan? Atau bahkan saat kita tidak mempunyai pekerjaan, atau saat kita bergumul dengan kesedihan, atau telah diperlakukan dengan tidak adil? Ya, bahkan saat itu. Terutama saat itu. Karena upaya untuk terus mengedepankan rasa syukur, kasih, dan suka cita di dalam pikiran kita membawa kesembuhan. Upaya tersebut cenderung membuat kita berpaling kepada Allah, Asas sempurna akan penyembuhan, dan berpaling dari kesan yang hendak membuat kita percaya bahwa penyakit, ketidaksempurnaan, cedera, penderitaan, dan kehilangan adalah kesejatian yang harus kita terima.
Yang dituntut bukanlah kegembiraan yang dangkal yang tidak mengindahkan penderitaan, melainkan keinginan yang tulus dan dalam untuk menyembah dan menghormati hanya satu Allah saja, satu kuasa saja. Bersyukur sebelum kesembuhan terjadi adalah suatu cara untuk secara aktif menyatakan kepastian bahwa Allah mengendalikan segalanya. Sebetulnya ini bukan sesuatu yang sulit dilakukan. Ini bahkan sesuatu yang wajar. Mungkin kita dapat memulai dengan sesuatu yang sederhana, seperti “Terimakasih Tuhan, karena Engkau mengasihiku.”
Apakah kita harus bersyukur kepada Allah karena memberi kita masalah? Tidak, karena Allah hanyalah Kasih semata—tidak pernah merupakan sumber kejahatan. Tetapi Kasih memberi kita pengertian rohaniah untuk mengatasi kejahatan. Kasih ilahi terus-menerus mengaruniakan semua yang baik—semua yang kita perlukan. Kasih yang sempurna memelihara identitas setiap orang sebagai keserupaan rohaniah Allah yang sempurna, termasuk kesehatan dan keselarasan. Setiap orang dapat belajar dan membuktikan, selangkah demi selangkah, bahwa kebaikan Allah adalah hal yang sejati dan tetap—bahwa kejahatan, zat, kecelakaan, penderitaan, dan penyakit tidak memiliki kesejatian atau kekuasaan besar yang seakan dimilikinya.
Diperlukan kerendahan hati serta keberanian untuk mengakui kebenaran-kebanaran ini saat kita bergumul dengan suatu masalah, karena hal itu menyangkal kejahatan yang seakan begitu sejati. Meskipun demikian, kebenaran-kebenaran yang agung itulah yang memerdekakan kita. Rasa syukur menumbuhkan kesembuhan karena hal itu mewakili keputusan yang kita ambil secara sadar untuk berpihak kepada penanggapan rohaniah. Mary Baker Eddy menulis di buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, "Apa pun yang membimbing pikiran secara rohaniah, mendatangkan kebaikan pada budi dan tubuh” (hlm. 149).
Terkadang saat menghadapi hari-hari yang sulit, saya merasa bahwa mengucapkan “terima kasih” benar-benar sangat membantu dalam melewati hari-hari itu. “Allah yang baik,” saya memulainya, “Terima kasih untuk pemeliharaanMu atasku. Terima kasih karena Engkau adalah Semua. Terima kasih untuk kasihMu yang menyembuhkan dan tidak dapat gagal. Untuk karuniaMu akan Kristus Yesus. Untuk ajaran Sang Penghibur, Ilmupengetahuan Kristen. Untuk semua kebaikan yang Engkau karuniakan, termasuk pelajaran dalam kesabaran serta kasih karunia, yang tidak dapat tiada dajarkan oleh tantangan-tantangan ini kepada saya.” Doa seperti ini tidak hanya memudahkan jalan serta meringankan beban saya, tetapi juga mempercepat kesembuhan yang saya perlukan. Seringkali, apa yang saya rasa mengganggu, hilang dengan cepat.
Jadi, apa pun keadaannya, selalu ada alasan yang kuat untuk terus bersyukur. Alasan itu selalu adalah Allah. Jika Anda merasa sulit untuk bertahan, mulailah dengan menghargai hal-hal kecil—apa pun yang terasa baik, murni, cerdas, manis. Kemudian teruslah memperluas batas-batas rasa syukur Anda, sampai Anda bersyukur kepada Allah dengan segenap hati dan jiwa dan budi Anda “karena perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib terhadap anak-anak manusia,” sebagaimana dinyatakan dalam Mazmur (107:8). Dan “perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib” termasuk kesembuhan Anda! Hendaknya rasa syukur Anda kepada Allah mencakup juga rasa terima kasih Anda terhadap sesama. Bagaimanapun juga kebaikan mereka itu datang dari Allah. Misalnya, luangkan waktu untuk mengucapkan terima kasih kepada teman yang telah membantu Anda saat menghadapi kesulitan, atau lakukan sesuatu yang baik kepada kerabat yang selalu membantu pekerjaan orang lain, atau mungkin Anda dapat duduk dan menulis surat untuk menyatakan terimakasih, yang telah tertunda selama berbulan-bulan.
Semua tindakan yang praktis ini menghasilkan suatu kesadaran yang lebih luas akan kebaikan. Semakin banyak kita berlatih, semakin mudah kita “bersyukur di dalam segala keadaan.” Dan yang paling indah, rasa syukur membuka mata kita untuk melihat lebih banyak surga Allah tepat di sini, jauh melampaui yang dapat kita bayangkan.