Perasaan memiliki peran yang besar dalam kehidupan kita. Kita dapat merasa bahagia atau murung, nyaman atau sangat tidak nyaman. Mungkin kita menganggap diri kita tidak berperasaan atau tidak peduli terhadap orang lain, atau mungkin kita menderita karena beberapa orang bersikap demikian terhadap kita.
Yang jauh lebih penting untuk dipertimbangkan adalah, mungkin kita menganggap bahwa kita mulai merasakan kesejatian ilahi akan wujud (misalnya, fakta akan kemahakuasaan Allah dan bahwa Allah mengaruniakan kuasa kepada manusia), atau menganggap kita tidak pernah merasakan hal tersebut. Ilmupengetahuan Kristen memberikan wawasan yang menjelaskan hakikat perasaan.
Ilmupengetahuan menjelaskan bahwa Budi ilahi, Allah, adalah satu-satunya Budi kita. Budi ini adalah sumber dari segala kesejatian dan perbuatan. Hanya yang dilihat, didengar, dan dirasakan Budi-lah yang benar-benar sejati dan tidak berhingga. Ilmupengetahuan menekankan bahwa Budi hanya melihat dan merasakan ketidakberhinggaan serta kemurniannya sendiri. “Ilmupengetahuan menyatakan, bahwa Budi, bukan zat, melihat, mendengar, merasa, dan berbicara. Apa pun yang membantah pernyataan ini masuk bilangan penanggapan palsu, yang selalu menyerahkan manusia fana kepada penyakit, dosa, dan maut," demikian Ny. Eddy menyatakan (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 485).
Kalau kita berbicara secara mutlak, sebetulnya tidak ada perasaan badaniah. Budilah yang merasa. Zat tidak merasa, dan kesadaran kebendaan juga tidak merasa, karena dalam kehadiran Budi yang di mana-mana, kesadaran kebendaan maupun zat tidak ada. Karena Roh ilahi adalah Semua, zat tidak ada, dan karena itu tidak dapat merasa atau dirasakan. Meskipun orang mengatakan bahwa syaraf dan rasa yang ditimbulkannya jelas memiliki peran besar dalam mekanisme serta aktivitas tubuh manusia, sebenarnya manusia yang sejati, penyataan Allah, hanya tersusun dari unsur-unsur rohaniah. Sudah pasti dia tidak mengandung syaraf yang kebendaan. Manusia tidak tunduk kepada penderitaan zat maupun pernyataan akan kesenangannya.
Memahami hakikat perasaan sangatlah penting dalam Ilmupengetahuan Kristen. Dalam menangani pernyataan akan rasa sakit yang hebat atau kebencian yang dalam, kita harus waspada agar tidak terpaku dengan kepercayaan bahwa zat mempunyai penanggapan, bahwa perasaan yang sejati dapat dipisahkan dari Budi. Jika kita menerima pernyataan yang keliru tentang perasaan, mungkin kita akan merasa khawatir atau dibuat bingung oleh kasus yang kita tangani. Mengetahui bahwa Budilah yang merasa, menghapuskan penderitaan jasmani.
Zat tidak merasa. Zat tidak cerdas, tidak ada. Dalam Ilmupengetahuan yang mutlak, budi fana tidak merasa, meskipun menyatakan diri merasa. Semua kesadaran yang sejati adalah kesadaran Budi ilahi. Kesadaran ini tidak pernah percaya pada penderitaan dan tidak pernah mencakup saran akan rasa sakit dan bahwa ada perasaan dalam zat. Menyadari bahwa kesemestaan Budi—yang adalah satu-satunya sumber yang menjadikan kita tahu dan berperilaku—tidak mencakup zat sebagai substansi atau kebenaran, tidak hanya menghapuskan dan menghilangkan rasa sakit, tetapi juga membebaskan kita dari penyakit atau fungsi yang tidak benar yang seakan menjadi penyebab rasa sakit.
Saat kita dengan waspada dan penuh kasih membantu seseorang yang sedang kesakitan, hendaknya kita tetap tidak terpengaruh oleh pernyataan yang terkadang kelihatannya sangat serius, bahwa zat memiliki perasaan. My. Eddy menulis: "Zat harus dipahami sebagai kepercayaan palsu atau produk budi fana: dari sini kita belajar mengetahui bahwa perasaan tidak ada dalam zat, melainkan dalam yang disebut budi ini; bahwa kita merasakan dan melihat penyakit hanya karena kita percaya akan hal itu; maka zat tidak akan lagi membutakan kita terhadap Roh, dan menghambat roda kemajuan” (Miscellaneous Writings, hlm. 233-234).
Zat tidak lagi membutakan kita terhadap Roh ketika ajaran Ilmupengetahuan Kristen kita rasakan secara mendalam, dan tidak hanya direnungkan sebagai pemikiran insani. Adakalanya, meskipun kita sangat menyadari ajaran Ilmupengetahuan Kristen, rasanya keyakinan kita tentang kebenaran serta kesejatiannya sangat kurang. Ini merupakan suatu tantangan untuk membangun, atau membangun kembali, dalam pikiran kita, kebenaran bahwa Budi-lah yang merasa—merasa dan mengetahui kemaha-kuasaan dan kemaha-hadirannya.
Ilmupengetahuan Kristen tidak menghilangkan perasaan yang manusiawi dari diri kita, seperti belas kasihan dan kehangatan dan perhatian yang tulus terhadap sesama. Ilmupengetahuan Kristen menguatkannya. Ilmupengetahuan Kristen menjadikan kita lebih mampu mengendalikan perasaan pribadi yang kasar dan hawa nafsu yang merusak. Bagaimana caranya? Dengan menunjukkan bahwa perasaan yang berakar pada Kasih ilahi—yang adalah satu-satunya perasaan yang sejati—selalu baik, tidak berat sebelah, dan tidak dapat dihalangi. Saat kita merasakan kemarahan serta kebencian terhadap orang lain, kita dapat bertanya kepada diri sendiri, Apa yang saya percayai tentang perasaan? Apakah saya menganggap perasaan ada di dalam zat dan bersifat individu?
Budi ilahi yang mengetahui dan merasakan segalanya dan yang adalah Semua, ialah Jiwa. Oleh karena itu perasaan yang benar haruslah mencakup keindahan serta rasa damai yang menggambarkan Jiwa. Di dalam Jiwa yang tidak berhingga, kepercayaan serta perasaan yang buruk tidak mempunyai tempat, tidak mempunyai asal serta tumpangan, tidak mempunyai kesejatian untuk meyulut kekerasan atau menyebabkan penyakit pada tubuh.
Di lain pihak, seorang arsitek atau artis atau pekerja rumah tangga yang memahami secara ilmiah, bahwa Jiwa adalah sumber segala wujud dan keindahan, mendapati bahwa dia, baik laki-laki atau perempuan, memiliki akses kepada keindahan serta kreativitas seni yang semakin banyak. Sikap yang sebaliknya—merasa tidak diilhami, dan tidak memiliki perasaan yang dalam dan otentik—merupakan keadaan pikiran fana, yang harus kita buang sampai pada akhirnya kita menerima bahwa Jiwa adalah satu-satunya Ego dan kehadiran.
Dalam Injil Markus diceriterakan bahwa seorang perempuan yang sakit menyentuh jubah Yesus dengan harapan untuk disembuhkan. Markus menyatakan tentang kesembuhan itu: “Pada ketika itu juga Yesus mengetahui, bahwa ada tenaga yang keluar dari diri-Nya, lalu Ia berpaling di tengah orang banyak dan bertanya: ‘Siapa yang menjamah jubah-Ku?’ Murid-murid-Nya menjawab: "Engkau melihat bagaimana orang-orang ini berdesak-desakan dekat-Mu, dan Engkau bertanya: ‘Siapa yang menjamah Aku?’” (Mrk 5:30, 31). Pengertian rohaniah bahwa Budi merasa, menjadikan kita merasakan apa yang perlu kita rasakan. Hal itu dapat meningkatkan wawasan serta pandangan kita dan dengan demikian menjadikan kita penyembuh yang lebih baik.