Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Beberapa pemikiran tentang keperawanan dan kencan

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 1 Januari 2012

Diterjemahkan dari Christian Science Sentinel, edisi 17 Oktober 2011


Beberapa waktu yang lalu saya berpacaran dengan seorang pemuda yang benar-benar baik, dan yang sekarang telah menjadi mantan pacar saya. Dia teman dekat saya dan juga pelajar Ilmupengetahuan Kristen. Saya merasa seakan Allah telah membimbing saya untuk berpacaran dengannya.

Hanya beberapa hari setelah kami berpacaran, saya merasa bahwa ada sesuatu yang dipikirkannya dan saya ingin dia memberitahu saya. Dia mengatakan tidak ingin saya memandangnya kurang baik, tetapi saya terus mendesak dan mengatakan bahwa apa pun masalahnya, saya ingin mendengarnya. Jadi dia bercerita bahwa dia telah melakukan hubungan seks berkali-kali saat masih berpacaran dengan gadis yang sekarang telah menjadi mantan kekasihnya.

Tiba-tiba saya tidak tahu apa yang harus saya pikirkan. Tetapi yang pasti saya ingin putus. Hati saya hancur karena pacar saya telah melakukan hubungan seks.

Perlu saya jelaskan, bahwa saya tahu pacar saya tidak akan mendesak saya untuk melakukan hubungan seks. Saya merasakan ketulusan dalam kata-katanya, sebuah kejujuran yang diperlukan untuk membangun sebuah hubungan yang kokoh. Saya telah memutuskan untuk tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. Meskipun beberapa teman kuliah saya melakukan hubungan seks pranikah, saya berusaha tidak menghakimi mereka. Oleh karena itu saya sungguh terkejut telah menghakimi pacar saya, dan merasa sangat terluka. Apa yang terjadi?

Keesokan hari setelah pacar saya berbicara kepada saya, adalah hari Minggu. Dengan hati terluka dan berlinang air mata, saya berdoa. Pagi itu, saya berdoa, berkomunikasi dengan Allah, sekitar satu jam sebelum pergi ke gereja dan bertemu pacar saya lagi.

Saya merenungkan berbagai artikel mengenai perhubungan yang saya baca di majalah-majalah Ilmupengetahuan Kristen. Salah satu hal yang saya pelajari dari setiap artikel yang saya baca adalah, jika seseorang merasa bahwa orang lain harus berubah, biasanya orang yang berpikir demikianlah yang perlu merubah pikirannya.

Ini dapat menjadi titik balik bagi saya. Saya sadar bahwa perasaan saya yang terluka bukan berasal dari Kasih ilahi, apa pun masa lalu pacar saya—saya perlu belajar sesuatu. Merasa bahwa Allah telah membimbing saya untuk melihat hubungan ini sebagai sesuatu yang benar, saya memutuskan untuk tidak meninggalkan pacar saya, karena itu berarti tidak mempercayai bimbingan rohaniah yang telah saya terima.

Demikianlah, dengan pedih saya berdoa dalam kerendahan hati. Saya tahu harus melihat pacar saya sebagai anak Allah yang selamanya sempurna dan murni. Tetapi yang sulit adalah, saya harus mampu hanya melihatnya seperti itu, dan saya tidak boleh membiarkan pikiran saya menjadi “bandul jam …..berayun di antara yang sejati dan yang tidak sejati” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 360).

Ketika duduk di luar sebelum pergi ke kebaktian pagi hari, datang pikiran ini: pacar saya adalah ide rohaniah. Karena itu tidak ada kegiatan—seperti seks—baik sebelum maupun sesudah menikah, yang dapat merubah ide yang rohaniah. Saya harus melihat pacar saya dengan penuh kasih seperti Yesus memandang sesama sebagai “manusia yang sempurna, yang nampak baginya, tempat manusia fana melihat seorang yang berdosa dan fana” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 476-477). Manusia yang sempurna ini adalah gambaran yang benar dan satu-satunya tentang pacar saya, yang adalah ide Kasih.

Namun saya terus berpkir, “tetapi dia telah kehilangan keperawanannya, dan yang paling saya inginkan adalah berpacaran dengan seorang pemuda yang masih perawan.” Tetapi kemudian Kasih menjawab: “Apa yang kau bicarakan? Tidak ada ideKu yang dapat kehilangan sesuatu yang rohaniah. Tidak sesuatu pun yang rohaniah dapat dirampas dari ideKu.”  Air mata derita  yang tercucur berubah menjadi air mata suka cita. Saya menjadi sedikit lebih memahami hal ini: Keadaan kebendaan tidak dapat merampas sesuatu dari kita, dan zat tidak dapat menyentuh, mempengaruhi, merubah, atau mengambil sesuatu dari Roh.

Ide-ide ini menjadikan saya merasa mantap dan penuh harapan. Namun demikian, mantan kekasih pacar saya menghadiri gereja yang sama, dan saya lupa menjaga pandangan saya tentang dia. Pada hari Minggu itu saya pulang dari kebaktian merasa sedih lagi. Sesudah itu saya benar-benar berdoa dengan lebih giat, dan bertanya-tanya apakah saya akan selalu dihantui oleh fakta bahwa mereka telah melakukan hubungan seks; bahwa saya “lain.”

Kemudian saya minta bantuan seorang penyembuh Ilmupengetahuan Kristen yang sebelumnya telah saya hubungi untuk menceriterakan masalah saya tersebut.  Dia bertanya kepada saya, “apakah engkau melihat orang pada umumnya sebagai manusia fana yang telah melakukan kesalahan, dan sebagian lagi belum melakukan kesalahan?” Saya sadar telah memberi cap pada pacar saya—dan pada diri sendiri! Saya sadar bahwa cara saya berdoa adalah berusaha keras menyelesaikan sesuatu melalui kemauan insani. Dalam buku Ilmupengetahuan dan Kesehatandinyatakan, “kekuasaan Roh yang mahakuasa tidak membagi kekuatannya dengan zat atau dengan kemauan insani” (hlm. 194). Saya telah menghalangi kemampuan saya untuk melihat Roh serta kuasa Kasih yang melebihi segalanya.

Penyembuh itu juga menyampaikan sebuah pemikiran lain: kita bukan sekelompok budi fana yang berdiri sendiri dan memandang orang sebagai manusia fana. Kita adalah ide Budi itu sendiri, dan merupakan saksi akan kesempurnaan serta kasih karunia yang semakin berkembang.

Oleh karena itu saat berdoa saya lebih banyak mendengarkan. Setelah beberapa hari, datang pemikiran lain. Saya sadar, bahwa keperawanan dapat dipandang sebagai konsep tentang kemurnian serta sifat tidak bersalah, dan ini berarti hal itu tidak pernah dapat hilang. Konsep rohanniah tentang keperawanan adalah sesuatu yang selalu kita miliki sebagai cerminan Kasih. Jadi bukan ada orang-orang yang memiliki kemurnian dan sifat tidak bersalah sampai mereka menikah, dan sekelompok besar yang tidak seperti itu.

Akhirnya saya mampu membersihkan pikiran saya, bukan saja mengenai masa lalu pacar saya, melainkan juga pandangan saya terhadap sesama yang berada dalam situasi yang sama, termasuk mantan kekasih pacar saya. Saya tidak lagi memandang pacar saya atau orang lain sebagai kurang sempurna atau telah “kehilangan” sesuatu yang masih saya miliki.

Sekarang, meskipun telah putus, kami masih tetap berteman, dan kami putus karena alasan yang tidak ada hubungannya dengan seks.

Saya masih merasa nyaman dengan pilihan saya untuk tidak melakukkan hubungan seks sampai saya menikah dan saya senang dapat mengatasi masalah saya melalui doa. Sekarang saya sadar, bahwa air mata saya tidak dipicu masa lalu pacar saya, melainkan karena memandang “harta di bumi” (Mat 6:19) yang mencakup kekecewaan serta sukacita yang kebendaan. Sekarang saya memiliki harta yang baru: suatu pandangan yang lebih jelas tentang setiap orang sebagai gambar Allah yang murni. 

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.