Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

‘Bertolak dari’ Budi, bukan ‘naik menuju’ Budi.

Suatu pembicaraan dengan George Millar

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 1 Juni 2012

Diterjemahkan dari The Christian Science Journal, edisi Juni 2010


Taman mempunyai tempat khusus di hati George Millar, seorang penyembuh dan guru Ilmupengetahuan Kristen. Bukan hanya taman di rumah yang sekarang ditempatinya di Twickenham di tepi sungai Thames, tetapi juga taman yang dikenalnya sejak masa kanak-kanaknya di Australia.

Waktu George masih kecil, suatu kali  kakak perempuannya tidak dapat bangun dari tempat tidur. Dia lumpuh. Waktu itu di Melbourne ada wabah polio, dan semua sekolah ditutup. Seorang dokter mendiagnosa kakaknya menderita polio, lalu mengatakan akan segera kembali setelah mengurus segala sesuatu agar gadis itu dapat diopname. Saat itu keluarga George sudah menjadi pelajar Ilmupengetahuan Kristen selama tiga generasi, dan George mengenang, “Ibu menyuruh saya pergi ke taman dan berdoa.”  “Saya takut sekali. Tetapi karena saya baru saja mendapat pelajaran di Sekolah Minggu mengenai pentingnya kepatuhan, maka itulah yang saya lakukan.”

George tidak ingat betul bagaimana dia berdoa. “Mungkin Doa Bapa Kami, atau ‘pernyataan ilmiah tentang wujud’ dari buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan, atau mungkin hanya ‘Tuhan tolong kakak saya!’” Tetapi dia ingat, bahwa pada hari yang kelabu itu, saat duduk di taman, tiba-tiba dia melihat sekelilingnya dipenuhi cahaya—indah sekali. “Taman kami sebenarnya tidak menarik,” tambahnya, “karena tukang kebunnya adalah ayah yang waktu itu sedang berada di medan perang.” Saat itu George tidak lagi merasa takut, dan tahu bahwa kakaknya sudah sembuh. Dia berlari ke rumah untuk memberitahu ibunya dan pada saat yang bersamaan kakaknya keluar sambil meloncat dari kamarnya, sehat sama sekali.

George pergi ke pintu depan menunggu dokter yang berjanji akan kembali dalam satu jam. “Saat dokter tiba,” kenang George, “Saya berkata, ‘Dia baik-baik saja. Dia sudah sembuh.’”

Pengalaman  tersebut  meninggalkan dampak yang tidak pernah hilang pada George. Bertahun-tahun kemudian George berkelana di Eropa dengan teman sekolahnya, Geoffrey Barratt, sesama orang Australia, yang diperkenalkannya kepada Ilmupengetahuan Kristen. “Tetapi Geoffrey membuat saya lebih mendalami Ilmupengetahuan Kristen,” katanya sambil tertawa, “karena dia terus mengajukan pertanyaan dan saya harus bisa menjawabnya.” Tidak lama kemudian, keduanya menjadi penyembuh Ilmupengetahuan Kristen yang terdaftar.

“Menjadi penyembuh adalah satu-satunya yang ingin saya lakukan,” kata George. Dan dengan  Allah, Budi, sebagai “Penyembuhnya,” semenjak itu George menjadi penyembuh.  

George, dalam pembicaraan singkat kita sebelum wawancara ini, Anda mengatakan bahwa salah satu hal yang Anda pikirkan saat ini adalah bahwa kata Allah terasa begitu abstrak bagi banyak orang. Bagaimana kalau kita memulai pembicaraan ini dengan hal tersebut?

Dengan memberi kita tujuh sinonim untuk Allah, Mary Baker Eddy mentransformasikan istilah Allah—dia memberi istilah itu makna yang baru. Saya terutama tertarik pada istilah Asas sebagai sinonim untuk Allah. Ny. Eddy berkata: “Jika dipahami, Asas merupakan satu-satunya istilah yang sepenuhnya menyatakan ide-ide tentang Allah,—satu Budi, manusia yang sempurna, dan Ilmupengetahuan ilahi” (No and Yes, hlm. 20).

Menurut Anda mengapa Ny. Eddy memilih istilah Asas?

Asas ada karena dirinya sendiri, tidak berubah-ubah, tetap, oleh karena itu dapat dipergantungi. Sinonim lain yang diberikan Ny. Eddy, seperti Kasih atau Hidup atau Budi, jika tanpa Asas, dapat berubah-ubah, tidak dapat diandalkan, dapat dihancurkan. Tetapi Kasih yang adalah Asas tidak dapat berubah-ubah, tetap—dapat diandalkan sepenuhnya. Dan itulah Allah.

Buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan mengatakan, “Adalah ketidaktahuan kita tentang Allah, Asas ilahi, yang menyebabkan yang kelihatan sebagai ketidakselarasan itu, dan pengertian yang benar akan Allah memulihkan keselarasan” (hlm. 390). Dan bertolak dari pernyataan tersebut, saya mendapati bahwa memahami sinonim untuk Allah sangat penting dalam menjalani hidup keseharian kita.

Dan sinonim itu juga mencegah kita agar tidak menganggap Allah bersifat sebagai manusia, bukan?

Betul. Sebagai akibat ajaran teologi lama yang sudah berlangsung bertahun-tahun, masih banyak godaan untuk menganggap Allah bersifat sebagai manusia. Dan bahkan kita sebagai pelajar Ilmupengetahuan Kristen, kadang-kadang melakukannya—menganggap Allah memiliki sifat-sifat seperti manusia dan mengharapkan Allah bertindak seperti manusia demi kepentingan kita.

Dalam kaitan dengan teologi lama, apakah Anda melihat perbedaan antara kepatuhan beragama dengan kerohanian?

Ada perbedaan besar. Kita perlu berpikir secara metafisis. Yakni, dari sudut pandang kebenaran metafisika. Dari sudut pandang teologi lama, ada pemikiran bahwa Allah ada di luar sana; bahwa jika kita berdoa kepada Allah, Allah akan melakukan sesuatu untuk kita. Sedangkan ahli metafisika memahami sifat kehidupan yang sesungguhnya, dan pemikirannya bertolak dari sudut pandang tersebut. Perbedaannya terletak pada “bertolak dari” atau “naik menuju.” Orang yang pemikirannya bertolak dari Budi adalah ahli metafisika. Orang yang berpikir “naik menuju” Budi adalah korban teologi lama.

Dengan perkataan lain, kita sudah memahami pendekatan yang ilmiah—atau kita masih mengira-ira pendekatan yang ilmiah itu—kita merasa berada di luar, berusaha masuk.

Jika  kita memahami sifat kehidupan yang sesungguhnya, maka pemikiran kita bertolak dari kebenaran yang mutlak bukan? Meskipun demikian, dalam buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan banyak sekali pernyataan yang ditulis secara “relatif"—maksudnya, dibandingkan dengan sesuatu yang lain. Misalnya, Ny. Eddy menyatakan, “Kata-kata Ilmupengetahuan yang tertulis mencapai umat manusia dengan berlimpah-limpah pada masa ini, tetapi roh Ilmupengetahuan hanya berangsur-angsur diresapnya” (hlm. 113).

Saya lebih cenderung menganggap pernyataan-pernyataan relatif itu sebagai bersifat menjelaskan—bukan pernyataan mengenai fakta, melainkan mengenai apa yang kelihatannya sedang terjadi. Berbicara melampaui kemampuan pendengarnya untuk memahami, tidaklah menyatakan kasih. Yesus tidak melakukan hal itu. Yesus berbicara dalam perumpamaan, karena itulah yang dipahami pendengarnya. Tetapi ada saat-saat ketika Yesus meninggalkan cara tersebut dan menyatakan kebenaran yang murni dan mutlak. Misalnya pernyataan, “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30), “Sebelum Abraham jadi, Aku telah ada” (Yoh 8:58), “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa;” (Yoh 14:9). Apa yang dilakukan orang banyak terhadapnya? Mereka melemparinya dengan batu. Mereka tidak memahami apa yang dikatakannya.

Jadi tidaklah arif atau  mengasihi jika kita berbicara melampaui kemampuan pendengar kita untuk memahami, dan kita perlu mengetahui hal ini. Seorang teman sering berkata, “Berpikirlah secara radikal, tetapi berbicaralah dengan arif, dan hiduplah dengan penuh kasih,” dan saya rasa itu merupakan suatu pedoman yang sangat baik untuk menjalani hidup sehari-hari.

Jika kita mengajukan pertanyaan seperti “Apa yang salah?” “Mengapa hal ini terjadi” “Bagaimana saya dapat memperbaikinya?”—pertanyaan-pertanyaan tersebut sebetulnya tidak dapat dijawab bukan? Karena pertanyaan tersebut diajukan dari posisi “di luar” seperti yang baru saja Anda jelaskan.

Ya, itu seperti mengatakan, “Mengapa matahari terbit di Timur dan tenggelam di Barat?” Sesungguhnya tidak demikian. “Mengapa benda-benda mengecil saat kita menjauhinya?” Benda-benda itu sesungguhnya tidak mengecil.

Atau “Mengapa saya tidak sembuh? Sudah begitu lama … ”

Fakta bahwa seseorang menanyakan hal itu menunjukkan bahwa dia masih percaya bahwa dia sakit. Selama kesesatan diterima sebagai sesuatu yang sejati—sesuatu yang harus diatasi—kemungkinan besar kita tidak dapat melakukan apa pun mengenai hal tersebut. Saya pikir, jika seseorang berdoa mengenai sesuatu dan mencari kesembuhan, orang itu harus mencapai titik di mana dia dapat berkata, “Yah, saya tidak peduli apa yang dikatakan kesaksian panca indera. Saya memahami bahwa saya sesungguhnya bersifat rohaniah dan sempurna, dan saya tidak dapat lagi menerima kesaksian yang palsu, karena hal itu tidak ada hubungannya dengan diri saya.” Karena faktanya adalah bahwa setiap kali sesuatu tampak tidak selaras, sesungguhnya keadaannya tetap selaras.

Misalnya, jika kita memandang sesuatu melalui kaca jendela dan di kaca itu ada gelembung yang besar, benda yang kita lihat tampak lain. Namun sebenarnya gelembung itu tidak menyentuh benda yang kita lihat, tidak merubah benda itu—hal itu tidak adahubungannya dengan benda yang kita lihat. Jadi supaya kita dapat melihat segala sesuatu dalam keadaannya yang sebenarnya, kita harus berhenti memandangnya melalui kaca yang bergelembung, karena hal itu memberi gambaran yang salah. Kita harus memandang melalui kaca yang bening. 

Dan memandang melalui kaca bening adalah memahami kebenaran mutlak mengenai diri kita—bukan kebenaran yang relatif?

Betul sekali. Akhir-akhir ini saya banyak merenungkan pernyataan berikut dari Ilmupengetahuan dan Kesehatan, “Kepercayaan yang diilhamkan oleh Ilmupengetahuan terletak dalam fakta, bahwa Kebenaran adalah sejati dan kesesatan tidak sejati” (hlm. 368). Kemudian, sesudah menjelaskan perbedaan antara Kebenaran dan kesesatan, Ny. Eddy mengulang pernyataan tersebut dan mengakhirinya dengan mengatakan: “Lagi pula, Kebenaran itu sejati, dan kesesatan tidak sejati. Pernyataan yang terakhir ini mengandung pokok yang enggan sekali kita akui, meskipun dari awal sampai akhir itulah pokok yang terpenting bagi kita untuk memahaminya” (hlm. 466). Dan saya setuju bahwa itu adalah pokok yang terpenting untuk dipahami, karena kalau tidak memahami kesejatian Kebenaran, maka kita seakan sedang dijarah—manfaat Kebenaran itu akan dirampas dari diri kita. Dan jika kita tidak memahami ketidaksejatian kesesatan, kita akan diperdayai—diperdayai untuk menerima kesesatan sebagai sejati, dengan segala akibatnya.

Dalam 1 Raja-raja (18:21) ada suatu pertanyaan yang sangat lugas, dan menurut pendapat saya menyatakan sepenuhnya hal yang baru saja Anda bicarakan: “Berapa lama lagi kamu berlaku timpang dan bercabang hati?

Ya, benar. Faktanya adalah, kita selalu berhadapan dengan kondisi pikiran kita saat ini. Tidaklah penting sudah berapa lama kelihatannya sesuatu telah berlangsung. Yang penting adalah yang kita pikirkan dan ketahui saat ini. Apa yang kita sadari saat ini, adalah penanggapan kita akan kesejatian pada saat ini. Nah, ini bisa kesejatian yang sesungguhnya atau suatu pemahaman yang terbatas—atau pemahaman yang salah mengenai kesejatian. Jadi kalau kita menerima pemahaman yang salah, kita seperti  berdiri di depan cermin yang rusak. Tetapi itu tidak berarti kita telah menjadiseperti gambar yang rusak itu. Kita tetap menjadi diri kita yang sebenarnya, dan sudah selalu demikian—yakni, pernyataan langsung Budi yang sempurna. Jadi tidak ada gunanya berusaha “melakukan” sesuatu pada diri kita sendiri. Keadaan kita sudah baik.

Yang harus kita lakukan adalah melihat pada cermin yang sempurna, yang dari sudut pandang kita, tentu saja, adalah Ilmupengetahuan ilahi, di mana kita dapat melihat diri kita yang sesungguhnya. Ilmupengetahuan dan Kesehatan mengatakan, “Dalam Ilmupengetahuan Yesus memandang manusia yang sempurna, yang nampak baginya, tempat manusia fana melihat seorang yang berdosa dan fana.” Yang dilihat manusia fana  adalah gambar yang rusak—yang dilihatnya melalui kaca yang rusak—yakni penanggapan panca indera. “Pada manusia yang sempurna ini Juruselamat melihat keserupaan Allah sendiri, dan pandangan yang betul akan manusia itulah yang menyembuhkan orang sakit” (hlm.  476-477). Nah, inilah penyembuhan yang sebenarnya dalam Ilmupengetahuan Kristen—sebetulnya tidak terjadi apa-apa. Faktanya adalah bahwa semua adalah Budi, dan Budi tidak melakukan sesuatu kepada pihak lain atau mengendalikan pihak lain, melainkan mencakup semua yang ada—dan adalah sempurna. Dan itulah yang selalu saya kemukakan kepada pasien, fakta bahwa semua yang dapat ada—dan sekarang ada—adalah penyataan Budi yang sempurna.

Dan itulah Asas.

Ya, dan itulah Asas. Saya senang mendefinisikan Asas sebagai “yang ada, dan mau tak mau selalu ada.” Asas tidak pernah diciptakan. Asas sudah selalu ada.

Nah, ini membuat saya berpikir tentang sesuatu yang banyak saya renungkan akhir-akhir ini. Istilah  wujud. Pada  suatu sore, seorang teman datang ke gereja bersama saya—dia sama sekali tidak tahu tentang Ilmupengetahuan Kristen—dan kemudian saat kami berjalan pulang, dia berkata “Bagi saya yang menarik adalah istilah wujud. Sebelumnya saya tidak pernah berpikir tentang hal itu.”

Seperti kata Allah, istilah wujud dapat terkesan abstrak. Tetapi teman Anda rupanya tidak merasa demikian, kelihatannya teman Anda justru merasa tersentuh oleh istilah tersebut.

Teman saya membuat saya sadar betapa pentingnya istilah wujud dalam Ilmupengetahuan Kristen—sebenarnya, kalau “pernyataan ilmiah tentang wujud” bukan merupakan hati dan jiwa ajaran kita, saya kira Ny. Eddy tidak akan memilih pernyataan itu untuk dibacakan pada akhir setiap kebaktian hari Minggu. Hanya melalui pengenalan diri yang benar, kita dapat mengalami keadaan kita yang sesungguhnya.

Kata penting lain dalam “pernyataan ilmiah tentang wujud” adalah istilah tidak berhingga. Ny. Eddy tidak hanya mengatakan “Segala-galanya ialah Budi dengan penyataanNya,” bahkan bukan  “Segala-galanya adalah Budi yang tidak berhingga dengan penyataanNya,” melainkan “Segala-galanya ialah Budi yang tidak berhingga dengan penyataanNya yang tidak berhingga ….” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 468). Ini karena tidak ada penyataan yang terbatas atau berhingga akan Budi yang tidak berhingga. Dalam salah satu definisinya mengenai wujud, Ny. Eddy mengatakan, “Wujud Allah adalah ketidakberhinggaan, kebebasan, keselarasan, dan kebahagiaan yang tidak berbatas” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 481). Dan menyadari bahwa wujud bersifat  tidak berhingga itulah yang memungkinkan kita mengidentifikasi diri dengan benar. Dengan demikian kita dapat mengatakan, “Jika segala-galanya ialah Budi yang tidak berhingga dengan penyataanNya yang tidak berhingga—dan saya ada—maka saya hanya dapat ada sebagai penyataan Budi yang tidak berhingga.”

Jadi kalau kita melihat bahwa sesuatu tidak sesuai dengan Allah, Asas, maka kita diperdaya oleh kaca jendela yang bergelembung—atau menerima gambaran yang diberikan cermin yang rusak. Menerima apa yang kelihatannya seperti …

Betul. Kita telah dididik untuk hidup menjaga apa yang kelihatan, dan belum tentu mengetahui siapa kita ini sebenarnya. Melalui proses pendidikan tersebut kita diajar untuk percaya bahwa hal-hal tertentu bersifat sejati, padahal sesungguhnya sama sekali tidak sejati. Oleh karena itu keberhasilan kita berbeda-beda. Tetapi jika kita mengetahui, bahwa kita bukan seperti yang kelihatan—yakni, kita bukan manusia fana yang jasmaniah dengan budi di dalamnya, dengan tubuh jasmani yang sekali waktu bisa sehat dan sekali waktu bisa sakit, dan budi yang kadang-kadang baik kadang-kadang jahat—jika inilah cara kita mengidentifikasi diri, maka pengalaman kita akan merupakan campuran antara baik dan buruk, sehat dan sakit.

Tetapi jika kita dapat melihat bahwa identitas kita yang sesungguhnya bukanlah zat, maka kita tidak perlu mengalami keadaan yang tidak selaras itu. Yang kita alami adalah wujud yang tidak berhingga. Semakin banyak kita berpikir dari ketidakberhinggaan kebaikan, makin sedikit kita mengalami kekurangan kebaikan. Dengan memahami siapa kita sesungguhnya, kita menjaga apa yang kelihatan dengan sebaik-baiknya.

Jadi George, ini bukan masalah mengelupas lapisan-lapisan pendidikan tersebut? Ini adalah kesediaan untuk membuangkan seluruh konsep akan kehidupan yang terbagi—atau apa pun yang terbagi.

Ini berarti membuang penanggapan palsu yang seakan begitu sejati. Mengubah konsep kita mengenai yang kelihatan—tetapi tidak sejati—kepada yang benar-benar sejati.

Yah, terus terang ini suatu pemikiran yang berani bukan?

Ini pemikiran yang berani, tak dapat diragukan—ini revolusioner. Maksud saya, ajaran Ilmupengetahuan adalah sangat khas. Kita tidak akan menemukan definisi mengenai wujud Allah dan manusia seperti yang diberikan Ilmupengetahuan dan Kesehatan, di mana pun kecuali dalam karya-karya tulis Ny. Eddy.

Saat kita merenungkan ide ilmiah tentang manusia, definisi ilmiah tentang manusia, apakah kita semakin memahami “manusia” kalau kita melihat bahwa hal itu berbeda dengan umat manusia—laki-laki, perempuan, dan anak-anak?

Ya, sudah pasti. Identifikasi insani adalah pemahaman yang terbatas mengenai manusia. Kita harus dapat melampaui konsep lama ini, yang tidak mempunyai tempat dalam Ilmupengetahuan. Konsep lama bahwa laki-laki hanyalah sebagian dari ciptaan dan perempuan adalah sebagian dari ciptaan, dan jika keduanya bersama mereka akan lengkap, tetapi mungkin mereka tidak lengkap juga, karena itu mereka harus mempunyai keturunan. Ini adalah rasa akan ketidaklengkapan—dan kelengkapan hanya ditemukan dengan mengakui bahwa Asas ilahi adalah seluruh hidup kita.

Saya mempunyai teman seorang ahli zoologi dan dia menemukan laba-laba yang disangka sudah punah. Nah, bagi saya laba-laba itu hanyalah makhluk coklat yang sama sekali tidak berarti. Teman saya selalu datang meminta saya menerjemahkan tulisan mengenai laba-laba itu dari bahasa Jerman, dan setiap kali pengetahuannya mengenai laba-laba itu bertambah, dia menjadi bersemangat sekali. Suatu hari saya berkata, “Saya  tidak bisa mengerti mengapa Anda begitu bersemangat mengenai makhluk coklat yang tidak berarti itu.” Dia berkata, “Kemarilah,” dan meletakkan salah satu laba-laba itu di bawah mikroskop, lalu mengatakan, “Lihatlah”—dan saya pun melakukannya. Wah, suatu transformasi yang luar biasa!  Alih-alih melihat benda kecil coklat, saya melihat makhluk yang bersinar dengan berbagai warna yang sangat indah—segala sesuatunya menakjubkan! Seakan laba-laba itu secara fisik telah berubah menjadi sesuatu yang berbeda sama sekali. Tiba-tiba saya memahami mengapa teman saya begitu bersemangat.

Tentu saja, itu hanyalah contoh yang kebendaan, tetapi hal itu menjelaskan bagaimana saya melihat dengan keterbatasan pancaindera, kemudian pandangan saya berubah seakan melihat laba-laba yang berbeda saat menggunakan mikroskop teman saya.

Pernyataan Ny. Eddy yang mengagumkan, mengangkat pemahaman kita sama sekali keluar dari alam kebendaan: “Dan betapa manusia, jika dilihat melalui lensa Roh, diperbesar, dan betapa berlawanan asalnya dengan debu, dan betapa dia menyatu dengan aslinya, tidak pernah terpisah dari Roh!” (The First Church of Christ, Scientist, and Miscellany, hlm. 129).

Kita dapat  melihat manusia melalui lensa Roh, yakni dari sudut pandang Kebenaran—wujudnya yang sejati—atau melalui keterbatasan pancaindera kebendaan.

Dengan persamaan itu, George, pemahaman yang terbatas mengenai laba-laba—kita dapat mengatakan bahwa kita menghadapi pemahaman yang terbatas mengenai manusia—suatu kepribadian insani. Seringkali kita dalam Ilmupengetahuan Kristen seakan berusaha memberikan sifat-sifat rohaniah kepada suatu kepribadian insani.

Ya. Dan itulah sebabnya pernyataan yang saya kutip sebelumnya—“Dalam Ilmupengetahuan Yesus memandang manusia yang sempurna”—sangat penting untuk memahami Ilmupengetahuan ilahi. Yesus tidak melihat manusia fana sebagai manusia yang sejati, dia melihat wujud ilmiah manusia.

Ilmupengetahuan Kristen menjanjikan sedikit sekali bagi manusia fana, sesungguhnya hampir tidak ada yang dijanjikannya bagi manusia fana. Tetapi Ilmupengetahuan Kristen menjanjikan semua  bagi manusia, gambar dan keserupaan atau pernyataan langsung Budi—kesatuan Asas dan ide.

Allah, Asas tidak pernah memecah. Karena Allah adalah esa, Dia tidak salah memahami diriNya sendiri, Asas tidak bertentangan dengan diriNya sendiri. Tidak mengandung ketidakselarasan yang seakan mengganggu hubungan insani. Hanya ada satu Allah dan satu manusia.

Orang  yang membaca definisi Ny. Eddy tentang manusia di buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan mungkin berkata: “Wah, tunggu dulu—‘manusia tidak tersusun dari otak, darah, tulang, dan anasir kebendaan yang lain’? (hlm. 475). Tentu saja ia demikian!” Tetapi sebenarnya hanya kelihatannya saja demikian.

Cara kita mengidentifikasi diri menentukan apa yang kita alami. Nah, jika kita hanya mengidentifikasi diri dengan apa yang kelihatan, maka kita akan mengalami keterbatasan yang menyertai pemahaman yang terbatas dan kebendaan itu. Tetapi jika kita mengidentifikasi diri dengan definisi Ilmupengetahuan Kristen tentang manusia, sebagai “pernyataan tidak berhingga  Budi yang tidak berhingga” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm 336), maka kita mendapati bahwa pengalaman kita sama sekali berbeda. Keterbatasaan hilang, dan pemahaman yang salah tidak terus mengganggu kehidupan kita.

Semuanya adalah keadaan pikiran. Dan faktanya adalah, yang kita sadari pada suatu saat adalah pemahaman kita saat itu akan kesejatian. Kita semua mampu meningkatkan pemahaman kita akan kesejatian, sampai pemahaman itu tidak hanya mendekati kesejatian—melainkan merupakan kesejatian itu sendiri.

Dan itulah saat kita beralih dari pemahaman yang relatif mengenai identitas kita kepada pengertian yang mutlak?

Oh benar sekali. Saya ingat suatu kesembuhan yang bagi saya sangat mengesankan, yang menunjukkan dengan jelas sekali akibat yang didatangkan oleh pemahaman—pengakuan—mengenai kesempurnaan Roh yang tidak berubah-ubah. Seusai berenang di laut yang bergelora, telinga saya kemasukan air dan pasir dan mengalami infeksi. Telinga saya meradang dan sakit, dan saya sama sekali tidak dapat mendengar dengan telinga itu. Sedang saya berdoa mengenai hal tersebut, keadaan telinga saya menjadi semakin parah, dan saya berpikir, “Wah, sesuatu harus terjadi.” Dan saat itu juga, saya sadar bahwa saya menantikan sesuatu terjadi. Saya pikir, sesuatu harus keluar dari telinga saya, atau sesuatu harus terjadi sebelum saya dapat sembuh. Tetapi tiba-tiba saya sadar bahwa jika segala-galanya adalah Budi, Roh, maka tidak ada yang mengendalikan atau menyembuhkan atau melakukan tindakan atas sesuatu yang lain, karena Budi mencakup semua yang ada—dan sempurna. Dan saat itu juga saya bebas—radang, sakit, tuli, lenyap sama sekali. Tidak terjadi apa-apa—tidak ada yang dikeluarkan—hanya kesembuhan yang serta merta. Penderitaan itu berakhir. Seperti saya katakan sebelumnya, dengan mengetahui apa yang sejati, kita menjaga dengan sebaik-baiknya keadaan kita.

Baru-baru ini, saat mengunjungi seorang pasien untuk pertama kali, kesadaran yang sama—pemahaman tentang apa yang sudah ada—mendatangkan kesembuhan serta merta dari masalah tulang belakang yang telah membuat pasien itu tidak dapat meninggalkan rumah selama bertahun-tahun.

Demikianlah kesadaran akan apa yang sejati, mengatasi hal-hal yang aneh dan tidak selaras yang seakan terjadi dalam kehidupan kita. Dan kita mengalami kebebasan yang sesungguhnya.

Dan itulah wujud yang sejati, bukan?

Itulah wujud yang sejati. Mengenal apa yang sesungguhnya ada, alih-alih berusaha menghasilkan sesuatu melalui pemikiran yang begini atau begitu. Ini hanyalah mengakui keadaan yang sesungguhnya mengenai berbagai hal. Dan hal ini akan menangani keadaan yang harus diatasi. Tidak ada proses.

Dari pembicaraan Anda, kadang-kadang kita seakan menjadikan keadaan sulit bagi diri kita sendiri. Maksud saya, sungguh suatu pembebasan, suatu kelegaan—dan benar-benar suatu hak istimewa—untuk mengidentifikasi diri dengan Budi, dengan Asas. Seperti kata Anda, bertolak dari sudut pandang Asas, bukan naik menuju Asas. Asas tidak akan pernah teperdaya oleh gelembung di kaca.

Sama saja seperti kita melihat bumi bertemu dengan langit di kaki langit; itu adalah suatu ilusi, atau, bahwa benda mengecil saat kita menjauhinya—kelihatannya saja begitu.

Saya menyukai petikan dari Ilmupengetahuan dan Kesehatanini: “Jika kita bertolak dari suatu pendirian yang lebih luhur, maka kita naik lebih tinggi dengan sendirinya, seperti terang pun tanpa bersusah-susah menyinarkan terang, …." (hlm. 262).  

Jika kita bertolak dari Asas—sudut pandang yang lebih luhur—kita tidak lagi berusaha menggunakan kebenaran rohaniah pada pemahaman kita yang salah. Kita hidup sebagai Ilmupengetahuan Kristus.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.