Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Ilmupengetahuan Kristen—bukan sekedar alternatif

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 1 Maret 2012

Diterjemahkan dari The Christian Science Journal, edisi  Januari 2008


Dewasa ini di mana-mana orang mencari alternatif  bagi prosedur yang sudah umum diakui, baik dalam hal pemeliharaan kesehatan, bisnis, politik, lingkungan, atau sekedar panduan hidup. Mereka ini sedikit banyak merasakan secara naluriah, bahwa pasti ada sesuatu yang lebih baik daripada yang ditawarkan pendekatan konvensional—suatu keyakinan bahwa ada dimensi lain dalam hidup ini yang masih perlu diselidiki. Tentu saja keyakinan ini bukan sesuatu yang unik bagi kehidupan modern. Para pemikir selama berabad-abad telah selalu memiliki naluri ini dan kadang-kadang, tergantung seberapa jauh mereka mengikuti naluri ini, telah merubah jalannya sejarah.

Salah seorang pemikir itu, Mary Baker Eddy, yang menemukan Ilmupengetahuan Kristen, atau yang sering disebutnya Ilmupengetahuan tentang wujud, memiliki keyakinan serupa mengenai sifat kehidupan. Dalam otobiografinya dia menulis: “Sejak masa kanak-kanak, saya didorong oleh rasa lapar dan haus akan hal-hal yang ilahi,—suatu  keinginan kepada sesuatu yang lebih luhur dan lebih baik daripada zat, dan terpisah dari zat—untuk dengan tekun mencari pengetahuan tentang Allah yang bersifat agung dan senantiasa hadir sebagai satu-satunya penyelamat dari penderitaan manusia” (Retrospection and Introspection, hlm. 31).

Pencariannya menyentuh suatu nada yang bergema di hati orang banyak. Sudah pasti ada sesuatu yang “lebih tinggi dan lebih baik daripada zat, dan terpisah dari zat.” Akhirnya Ny. Eddy menemukan “sesuatu” itu, dan memanfaatkan seluruh sisa hidupnya berusaha menjelaskan penemuannya kepada orang lain. Menurutnya, penemuan ini adalah “Hidup dalam dan dari Roh; dan Hidup ini merupakan satu-satunya kesejatian hidup” (Miscellaneous Writings 1883–1896, hlm. 24).

Ilmupengetahuan tentang wujud ini merubah definisi mengenai hidup dari sudut pandang kebendaan kepada yang bersifat rohaniah. Hidup kita adalah pernyataan Hidup ilahi, dan Hidup ilahi ini dinyatakan dengan H dalam huruf besar, bukan huruf kecil.  Hidup juga dipahami sebagai Roh ilahi, karena dalam wujudnya Hidup mengandung semua ciri, sifat, dan kualitas Roh.  

Hidup ilahi ini menyatakan semua yang ada di dalam ciptaan, termasuk manusia individual, apabila sifat ilahi Hidup ini diakui dan dipahami sebagai mahakuasa. Berabad-abad yang lalu Yesus menyiratkan bahwa Hidup yang demikian adalah Roh, ketika dia menganjurkan para pengikutnya untuk menyembah dan memahami Allah “dalam roh dan kebenaran,” karena “Allah itu Roh” (Yoh 4:24).

Namun demikian, pendekatan untuk memahami hidup/Hidup ini, sesungguhnya bukan suatu alternatif bagi kepercayaan-kepercayaan tradisional, karena pandangan ini tidak bergantung pada asumsi bahwa hidup memiliki dasar yang kebendaan.  Alih-alih demikian, kita dapat menganggap pandangan ini sebagai sesuatu yang membawa perubahan, suatu alteratif.  World Dictionary mendefinisiskan kata alteratif sebagai “cenderung menyebabkan transformasi; memulihkan kepada keadaan yang sehat.”

Dan memang, melihat Hidup sebagai Roh ilahi merubah definisi—atau bagaimana kita memahami—substansi hidup kita. Substansi hidup yang sama sekali ada dalam dan dari Roh terdiri dari ide-ide rohaniah yang menyatakan sifat Allah—bukan hal-hal yang kebendaan.  Tujuan perubahan ini adalah untuk memperbaharui kehidupan secara total, dengan cara merubah asumsi bahwa hidup didasarkan pada zat, kepada pemahaman mengenai hidup yang sepenuhnya didasarkan pada Roh. Dan akibat dari perubahan itu adalah penyembuhan.

Seringkali orang menganggap penyembuhan sebagai memulihkan sesuatu kepada keadaan aslinya. Tetapi apakah keadaannya yang asli itu? Saat kita mencari kesembuhan, apakah kita berusaha mengembalikan substansi atau kemampuan kepada zat yang sehat?  Atau,  apakah penyembuhan yang sesungguhnya merubah pandangan kita tentang substansi, kemampuan, atau fungsi? Memusatkan perhatian hanya untuk memulihkan hal yang mengganggu kepada keadaan kebendaannya yang sehat, menjadikan kita pada akhirnya rentan terhadap kerusakan atau keuzuran zat di masa depan. Agar benar-benar sehat, sangatlah penting untuk memperbaiki  bukan hanya gejalanya, tetapi juga asumsi yang menyebabkan timbulnya gejala itu. Seringkali asumsi itu adalah, bahwa substansi dari masalah yang kita hadapi adalah zat. Kita harus segera melawan asumsi seperti itu.

Misalnya, jika kita menghadapi penglihatan yang semakin buruk, yang perlu terutama bukanlah memperbaiki zat yang tidak berfungsi dengan semestinya (iris, saraf penglihatan, atau retina), tetapi mendapatkan pemahaman rohaniah tentang apa yang tercakup dalam penglihatan. Dalam bab Daftar Istilah dengan Keterangannya di buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, definisi tentang mata merujuk kepada dua unsur penting penglihatan: hakikat rohaniah penglihatan sebagai pemahaman rohaniah dan keperluan untuk mengetahui bahwa penglihatan bersifat mental bukan kebendaan.

Selama bertahun-tahun memberikan layanan penyembuhan Ilmupengetahuan Kristen, saya telah menyaksikan banyak penyembuhan dari penglihatan yang terganggu. Kesembuhan ini datang saat kita bergeser dari berusaha memulihkan mata kepada keadaan kebendaan yang sehat dan mengakui keperluan untuk menerapkan hakikat penglihatan sebagai melihat secara rohaniah—dengan perkataan lain, memahami bagaimana Roh ilahi melihat.

Kesanggupan melihat, atau mahami hal ini adalah karunia yang bersifat mental—yang datang dari Budi ilahi. Tidak seorang pun harus meraba-raba dan berusaha membayangkan bagaimana Allah melihat kehidupan. Kita hanya perlu mendengarkan, dengan rendah hati membiarkan Budi menunjukkan apa yang perlu kita lihat. Dengan cara ini kita telah merubah pendekatan kita. Kita telah meninggalkan upaya memperbaiki zat dan kita memanfaatkan kesanggupan rohaniahuntuk melihat.

Pandangan yang sama dapat mendukung setiap usaha memulihkan kesehatan tubuh. Misalnya jika masalahnya adalah sakit jantung, kita dapat melihat perlunya ide-ide Budi mengalir dalam kesadaran kita dan melarutkan kesesatan yang terkumpul tentang pemahaman palsu akan diri kita—pembenaran diri, menganggap diri penting, kemauan diri—dan menggantinya dengan sifat tidak mementingkan diri sendiri, kerendahana hati, dan kemurnian. Melatih “jantung” kita dengan cara ini tidak melibatkan proses kebendaan, tetapi proses mental. Ini berarti melatih perasaan yang sedalam-dalamya mengenai Kasih ilahi dan membiarkannya merangkul semua yang kita lihat dan lakukan.

Jika yang dihadapi adalah masalah pencernaan, kita dapat bergeser dari kepercayaan bahwa yang perlu kita lakukan adalah manjaga apa yang kita makan, kepada kesadaran untuk menerima atau “mencerna” ide-ide yang berasal dari Budi ilahi saja. Kita mungkin ingin mempraktekkan anatomi mental, yang mencakup penentuan mutu ide-ide yang datang kepada kita. Apakah ide-ide itu bersifat kebendaan atau rohaniah—apakah ide-ide itu mengandung beban asumsi dan skenario kebendaan, atau apakah ide-ide itu merupakan fakta rohaniah yang sesungguhnya, yang diperoleh dari kecerdasan ilahi? Jika kita berpikir harus melalui suatu proses yang sulit—misalnya “siapa yang dapat berpikir benar setiap saat?”—kita dapat menyadari bahwa kita bersandar kepada kemampuan mental yang bukan milik kita saja. Kita bergantung kepada manifestasi Budi ilahi untuk mengisi pikiran serta kesadaran kita sepenuhnya. Sesungguhnya, tidaklah memerlukan waktu lebih banyak untuk berpikir benar daripada untuk berpikir tidak benar.

Keperluan untuk merubah pikiran tidak hanya berlaku dalam memperbaiki masalah yang berkenaan dengan tubuh, tetapi juga dalam semua masalah kehidupan insani. Masalah yang dihadapi umat manusia saat ini adalah bagaimana dapat hidup selaras dengan lingkungan—yang sesungguhnya merupakan masalah yang sudah ada sejak dulu. Kita dapat mulai dengan bertanya, “Apakah asumsi dasar kita tentang lingkungan?” Jika kita melihat lingkungan sebagai kumpulan semua unsur yang kebendaan, maka mungkin sekali dengan segera kita menghadapi tantangan yang berkaitan dengan lingkungan. Namun, saya percaya, bahwa kita perlu memahami lingkungan sebagai ide-dan-proses alih-alih kumpulan unsur kebendaan.

Roh ilahi menciptakan semuanya, dan karena bersifat rohaniah, tidak ada sesuatu dalam Roh yang dapat menciptakan zat. Yang diciptakan Roh adalah konsep rohaniah—ide-ide Budi ilahi—dan ide-ide ini bukan sesuatu yang mandeg. Alih-alih demikian, ide-ide ini senantiasa berkembang karena sumbernya yang tidak berhingga dan terus-menerus aktif. Dari fakta-fakta ini kita dapat menyimpulkan bahwa lingkungan merupakan kumpulan ide-ide ilahi, yang senatiasa berkembang. Jika kita menganggap bahwa tugas kita terhadap  lingkungan adalah berusaha mempertahankannya dalam keadaannya yang sekarang, kita akan mengalami frustasi.

Lingkungan kita senantiasa berubah dan berkembang, dan tugas kita adalah memahami cara pengembangan itu. Pengembangan rohaniah bukanlah pertumbuhan dari ketidak-matangan kepada kematangan, atau dari ketidak-lengkapan kepada kelengkapan, atau dari kehancuran kembali kepada keutuhan. Setiap ide ilahi yang menyusun lingkungan, sudah mengandung kematangan, kelengkapan, dan keutuhan di dalamnya.  

Apa yang berkembang  sesunguhnya adalah penyingkapan akan kompleksitasnya, berbagai segi kelengkapannya. Saat kita mengakui proses ini, kita tidak akan berusaha mencegahnya (yang sudah pasti sia-sia) atau mencoba memaksakan ide rohaniah yang lengkap ini terwujud dalam bentuk sesuai yang kita pikirkan. Alih-alih demikian, kita dapat memetik pelajaran darinya dan melihat di dalam pernyataannya beberapa aspek yang ilahi.

Ilmupengetahuan Kristen menjelaskan bahwa kita dapat melihat fakta rohaniah atau kesejatian di balik apa pun yang dilihat panca indera. Sudah pasti fakta rohaniah itu menunjukkan beberapa segi sifat ilahi. Saya telah menyaksikan akibat praktis  pemahaman yang demikian ketika seorang kenalan menghadapi kebakaran yang mengancam rumahnya. Terperangkap dalam api yang semakin dekat yang dikipasi angin kencang, dia menujukan pikirannya kepada unsur lingkungan yang dihadapinya: apidan angin.

Dia ingat bahwa buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan menjelaskan makna rohaniah kedua istilah tersebut—api melambangkan pemurnian dan angin ada kaitannya dengan “gerakan pemerintahan rohaniah Allah” (hlm. 597). Karena Allah adalah Kasih itu sendiri, dan sama sekali baik, tidak ada sesuatu dalam pemerintahan ilahi itu yang dapat membiarkan terjadinya kehancuran, yang umumnya dianggap sebagai akibat dari kombinasi api dengan angin.  

Dengan berpegang pada fakta-fakta rohaniah ini di dalam pikirannya, teman saya tidak berdoa untuk memulihkan keadaan kebendaan yang semula selaras, tetapi untuk menyadari bagaimana Budi memerintahi ciptaannya—melalui sifat dan wataknya. Sebagai akibatnya angin berubah arah ke wilayah yang sebelumnya telah terbakar, dan hal itu menyelamatkan rumahnya dan rumah-rumah di sekelilingnya. Teman saya ini tidak menggunakan doa sebagai suatu alternatifterhadap teknik pemadaman kebakaran yang lain. Dia menggunakan doa sebagai suatu alteratif yang mengangkat pikirannya menjauhi kesan bahwa dia terperangkap dalam zat, kepada kesadaran bahwa dia tinggal di lingkungan ilahi yang semata-mata ada di bawah pemerintahan Allah.

Selama lebih dari satu seperempat abad, kebanyakan orang menganggap Ilmupengetahuan Kristen pada dasarnya adalah suatu alternatif, khususnya bagi metoda pelayanan kesehatan yang lain. Dan ini wajar. Para pelajar Ilmupengetahuan Kristen selama itu telah memberikan bukti yang meyakinkan tentang kuasa doa serta perohanian pikiran untuk mengatasi berbagai keperluan, termasuk layanan kesehatan.  Seperti dijelaskan Mary Baker Eddy, salah satu tujuan Ilmupengetahuan tentang wujud ini adalah untuk digunakan memenuhi keperluan umat manusia.

Dan yang jelas, kita memiliki banyak kesempatan untuk menunjukkan bagaimana sistem doa yang ilmiah ini dapat diterapkan kepada semua aspek pengalaman insani. Tetapi di balik semua kesempatan itu, ada tujuan yang lebih besar, tujuan yang merupakan suatu alteratif—yakni, kita bersatu dalam upaya membantu orang lain mendapatkan kebebasan dan kesembuhan yang datang dari pemahaman mengenai ajaran utama Ilmupengetahuan Kristen—bahwa hidup ada di dalam dan berasal dari Roh dan tidak ada dalam zat.

Beberapa ahli teologi mengkritisi Ilmupengetahuan Kristen  sebagai yang mereka sebut “teologi keberhasilan.” Para ahli teologi itu menyiratkan bahwa pengamalan agama ini terutama ditujukan untuk mendapatkan keberhasilan dan kenyamanan. Selain itu disiratkan juga bahwa pengamalan Ilmupengetahuan Kristen menjauh dari fokus teologi yang tradisional, yakni mengupayakan penebusan dan pembaharuan. Jika kita memahami ajaran Ilmupengetahuan Kristen, tentu saja kita akan menemukan bahwa kritik tersebut tidak berdasar.

Praktek Ilmupengetahuan Kristen, paling tidak adalah suatu proses pembaharuan, dan memahami proses tersebut sampai tingkat yang terdalam—mengangkat umat manusia dari asumsi bahwa manusia ditempatkan dalam zat “untuk mengusahakan dan memelihara” zat sebagaimana disebutkan dalam kitab Kejadian bab 2.  Sebaliknya, bertentangan dengan gambaran akan ciptaan tersebut, bab pertama Kitab Kejadian mengajarkan bahwa Allah tidak menciptakan manusia bersifat kebendaan tetapi  bersifat rohaniah, dan bahwa tujuan hidup laki-laki/perempuan bukanlah untuk mengusahakan dan memelihara zat tetapi agar terbebas dari zat.

Bukankah ini penebusan yang sesungguhnya—kembali menyadari keutuhan dan kesatuan kita dengan Allah? Ini bukanlah suatu janji yang mengawang-awang. Kita sesungguhnya dapat dan memang menjalani janji akan kelengkapan ini di sini dan sekarang juga, tepat pada tingkat pengalaman kita saat ini.  Tetapi kita perlu waspada agar tidak jatuh dalam godaan untuk melihat doa kita sebagai upaya untuk mengusahakan dan memelihara zat, tetapi untuk merasakan kepuasan, yang datang dengan cara setapak demi setapak menjauh dari pemahaman, bahwa zat adalah substansi, kesanggupan, atau fungsi kita.  

Setiap upaya yang kita lakukan menuju penyembuhan ilmiah melalui doa membawa kita melampaui kepercayaan bahwa kita memperoleh kehidupan kebendaan yang lebih menyenangkan, kepada kesadaran bahwa hidup kita senantiasa diperbaharui kembali dalam Roh. Inilah kemajuan yang sesungguhnya—suatu petualangan yang tidak mengenal batas. Sistem yang penuh kuasa ini—Ilmupengetahuan tentang wujud ini—menjawab naluri yang saya sebutkan sebelumnya, bahwa pasti ada sesuatu yang lain, sesuatu yang  memiliki makna yang lebih besar daripada hidup di dalam zat. Dan praktek Ilmupengetahuan ini medorong kita untuk menyelidiki wilayah hidup kita yang sesungguhnya—kerajaan Roh ilahi.

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.