Selama hidup, secara umum saya menganggap diri saya baik. Saya berusaha mengasihi sesama seperti diri saya sendiri. Saya yakin berada di jalur yang benar dalam mempraktekkan Ilmupengetahuan Kristen. Tetapi ketika saya menghadapi masalah fisik sekitar lima tahun yang lalu, saya mulai mendapatkan pemahaman yang jauh lebih dalam mengenai makna mengasihi sesama. Pengalaman tersebut sama sekali memperbaharui pemahaman saya tentang bagaimana saya memandang orang lain—dan diri saya sendiri—dan telah menjadi tonggak yang penting dalam pertumbuhan rohaniah saya.
Ketika salah satu lengan saya terasa sakit, awalnya saya tidak terlalu banyak memikirkannya. Saya berdoa untuk memahami bahwa Allah tidak pernah menciptakan rasa sakit, dan karena Allah, kebaikan adalah satu-satunya sebab, rasa sakit tidak mempunyai sebab dan karena itu tidak dapat berakibat pada manusia. Saya ingat pernah mengatasi rasa sakit di salah satu lengan saya melalui doa lima belas tahun sebelumnya, dan berharap masalah yang saya hadapi sekarang dapat teratasi dengan cepat karena semua penyakit fisik atau mental di masa lalu selalu disembuhkan secara efektif melalui doa yang khusuk.
Tetapi, alih-alih mendapat kesembuhan yang cepat dan sempurna, seperti yang biasanya saya alami, rasa sakit itu terus berlangsung selama beberapa bulan. Rasa sakit itu terasa paling dahsyat saat saya akan tidur di malam hari, dan saya hanya dapat tidur jika terlentang tanpa bergerak.
Karena hal ini telah berlangsung begitu lama, saya mulai lupa bahwa Allah adalah satu-satunya Sebab dan Pencipta, dan mulai berpikir mengenai sebab-sebab insani yang mungkin mengakibatkan rasa sakit itu. Saya mulai berpikir, mungkin ini akibat proses penuaan. Saya belum pernah menderita penyakit yang begitu berkepanjangan. Saya bertanya-tanya, apakah saya benar-benar akan sembuh atau apakah penyakit itu sangat serius sehingga saya tidak dapat menanganinya melalui doa?
Suatu hari, saat sedang berjalan melintasi ruangan, bagian atas tubuh saya terasa sakit sekali sehingga saya harus berhenti. Saya berhenti sejenak dan berpikir, “Apa yang saya percayai? Apakah yang paling penting di dunia ini bagi saya?” Kata-kata “Ilmupengetahuan Kristen” muncul di benak saya. Jelas sekali bahwa Ilmupengetahuan Kristen sangat berharga dalam seluruh kehidupan saya. Ilmupengetahuan Kristen adalah “mutiara yang sangat berharga” yang dibicarakan Yesus Kristus dalam sebuah perumpamaan saat menggambarkan kerajaan surga (Mat 13:45, 46). Selama hidup, saya selalu berpaling kepada penyembuhan rohaniah melalui Ilmupengetahuan Kristen. Ilmupengetahuan Kristen telah selalu menjadi sumber kesembuhan dalam keluarga saya dan selalu efektif dan dapat diandalkan.
Lalu saya sadar bahwa saya telah begitu terperangkap dalam rasa sakit itu dan memusatkan perhatian saya pada penanggapan kebendaan tentang hidup, sampai-sampai saya mengakui bahwa saya hanyalah seorang manusia fana yang sedang bergumul dan telah mencapai usia tertentu. Saya hanya melihat akibat-akibat kebendaan. Saya perlu kembali kepada “mutiara yang sangat berharga” dan menjadi saksi yang sesungguhnya mengenai sifat rohaniah saya maupun semua orang lain yang saya lihat. Saya harus bersedia tumbuh dalam pemahaman saya mengenai perhubungan saya yang sesungguhnya dan tidak bercacat dengan Allah.
Firman Allah yang Kesembilan berbunyi, “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu” (Kel 20:16). Tetapi saya mengucapkan saksi dusta terhadap diri sendiri dengan melihat diri saya sebagai manusia fana yang sedang bergumul melawan rasa sakit tanpa tempat berpaling. Untuk dapat bersaksi tentang sesama dengan benar, kita harus bersaksi tentang diri kita dengan benar. Saya perlu menjadi saksi yang benar. Saya harus kembali merohanikan kesadaran saya, dan merasa dibimbing untuk mempelajari Alkitab dan Ilmupengetahuan dan Kesehatan secara mendalam. Saya perlu menemukan mutiara yang sangat berharga yang sudah selalu saya kenal, dan mengembalikan pikiran saya kepada kesadaran yang menyembuhkan.
Saya sadar, bahwa sebagai titik awal untuk maju secara rohaniah, saya perlu membaca Ilmupengetahuan dan Kesehatan melalui sudut pandang yang lebih segar. Saya perlu memandang kebenaran yang disajikan sebagai mutiara, hal yang paling berharga dalam hidup saya, dan bahwa saya bersedia menjual semua untuk mendapatkan mutiara itu.
Saya mulai membaca setiap kalimat dengan kesegaran baru. Saya belum membaca terlalu jauh ketika sampai pada suatu pernyataan di bagian bawah halaman tujuh, yang seakan merupakan cahaya yang bersinar terang. Kalimat itu hanya terdiri dari lima kata, tetapi merupakan lima kata terpenting yang pernah saya baca: “Kemunafikan bersifat mematikan bagi agama.”
Saya bertanya kepada diri sendiri, “Apa maksud pernyataan ini?” Dapatkah kemunafikan benar-benar bersifat mematikan bagi agama? Saya mengasihi Ilmupengetahuan Kristen, agama saya, dengan sepenuh hati, dan saya tidak ingin tanpa sadar menyumbangkan sesuatu yang mematikan bagi agama saya. Saya mencari definisi tentang kemunafikan: “Menjadi apa yang bukan sesungguhnya. Mengenakan penampilan palsu mengenai kebaikan atau agama. Memberikan kesan palsu akan watak yang baik, di bidang moral dan agama.”
Saya teringat akan orang Farisi dalam Injil Lukas yang berkata, “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini” (18:11). Kemudian dia menyombongkan apa yang telah dilakukannya.
Saya sadar bahwa kemunafikan berarti bersikap sombong kepada sesama dan sesungguhnya menyatakan arogansi dengan berpikir bahwa saya lebih memahami Allah dari pada orang lain. Kemunafikan adalah kebalikan mutlak kerendahan hati dan kelemahlembutan, dan Yesus Kristus menyatakan sebagai Ucapan Bahagia yang ketiga, “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi” (Mat 5:5). Kemudian saya menemukan pernyataan yang merujuk kepada orang yang rendah hati, dalam karya tulis Ny. Eddy: “Siapa yang akan memiliki bumi? Orang yang rendah hati, yang duduk di kaki Kebenaran, memandikan pengertian insani dengan air mata pertobatan dan membasuhnya dengan bersih dari noda pembenaran diri sendiri, kemunafikan, dengki,—orang seperti itu akan memiliki bumi, karena ‘hikmat dibenarkan oleh semua orang yang menerimanya’” (The First Church of Christ, Scientist, and Miscellany, hlm. 238).
Waktu itu hari Rabo dan saya bertugas sebagai penerima tamu di gereja. Saat berdiri di sana, tersenyum kepada setiap orang yang datang, saya terus merenungkan definisi kemunafikan, dan tiba-tiba muncul rasa pertobatan yang besar. Saat memandang setiap orang, saya mengenakan penampilan palsu akan kebaikan. Dengan kepalsuan saya tersenyum dan menampilkan watak yang baik, sementara saya merasakan kekecewaan, keputusasaan, kebencian, bahkan kemarahan terhadap beberapa orang yang datang. Mungkin saya betul-betul tidak menyukai baju atau tindakan seseorang, atau mungkin saya tidak sependapat dengan seseorang mengenai sesuatu hal, bahkan mungkin mengenai gereja. Saya sedang memberikan saksi palsu tentang sesama.
Saya sadar telah melihat gereja terpecah mengenai berbagai masalah—sebagaimana juga saya melihat Amerika Serikat—dan saya teringat kata-kata Abraham Lincoln bahwa rumah yang terpecah tidak dapat berdiri. Saya bersikap munafik dengan menghakimi orang yang datang. Saya telah membawa kemunafikan kepada agama yang saya kasihi dan hargai dengan sepenuh hati,—mutiara yang sangat berharga—dan berpikir saya telah mendoakannya dan mendukungnya setiap hari. Saya sadar bahwa saya tampak tulus, tetapi sesungguhnya pikiran saya mementingkan diri dan tidak menyatakan kasih. Saya berpikir telah berdoa untuk berbagai masalah, oleh karena itu tahu apa yang benar. (Bagaimanapun juga, saya pikir saya adalah seorang Ahli Ilmupengetahuan Kristen sepanjang hidup saya). Saya perlu memberikan kesaksian yang benar tentang sesama.
Kesadaran saya perlu segera berubah. Setelah kebaktian, saya pulang dengan kerendahan hati untuk berdoa agar melihat keakuan rohaniah saya yang sesungguhnya. Untuk benar-benar menghargai mutiara yang sangat berharga itu, saya sadar bahwa saya harus berhenti menghakimi, yang merupakan perbuatan yang mementingkan diri sendiri dan didasarkan pada kemauan insani, dan kembali kepada penanggapan rohaniah yang benar-benar hadir di dalam kesadaran. Saya harus membebaskan diri dari rasa dengki, kesombongan, pembenaran diri, merasa baik sendiri, dan sikap fanatik, yang semuanya merupakan sifat kemunafikan.
Saya mulai merohanikan pikiran mengenai segala hal dan semua orang yang masuk ke dalam kesadaran saya untuk membuangkan setiap jejak pemikiran yang terbatas dan bersifat kedagingan, dan saya mulai memberikan kesaksian yang benar mengenai diri saya sendiri dan sesama. Sungguh menyenangkan maju secara rohaniah dengan cara ini—melihat setiap ide Allah dengan kasih rohaniah yang sama! Saya memahami bahwa mutiara itu tumbuh dari suatu proses penyembuhan, dan penyembuhan atas kemunafikan sedang terjadi.
Meskipun gangguan fisik itu telah berlangsung 18 bulan dan seakan terus memburuk, dalam beberapa hari sesudah kebaktian tersebut saya sembuh dengan segera. Pada suatu malam saya terbangun, sadar bahwa saya dapat bergerak dengan bebas dan merebahkan tubuh saya dalam sikap yang saya inginkan tanpa rasa sakit. Meskipun demikian kesembuhan fiisik itu hanyalah suatu akibat sampingan, karena sekarang saya dapat menjadi penerima tamu, dan mengasihi semua ide sebagai murni dan sempurna, tanpa kemunafikan. Saya hanya melihat anak-anak Allah yang masuk melewati pintu ruang kebaktian.
Bagi saya, ini merupakan pengalaman yang begitu indah mengenai pertumbuhan. Hal ini membantu saya memahami betapa pentingnya menghargai kerohanian saya yang sejati, dan juga kerohanian orang lain dan gereja. Setiap hari saya masih harus waspada menjaga pikiran dan memastikan tidak ada lagi saran-saran yang membatasi yang merasuki pikiran saya. Saya berdoa sesuai Pasal yang berjudul “Kewaspadaan untuk Menjalankan Kewajiban” dari Buku Pedoman: “Adalah kewajiban tiap-tiap anggota Gereja ini untuk setiap hari mempertahankan diri terhadap saran mental yang agresif [yang bagi saya, khususnya, berarti kemunafikan], dan tidak membiarkan dirinya tergoda untuk melupakan atau melalaikan kewajibannya terhadap Allah, terhadap Pemimpinnya, dan terhadap umat manusia” (hlm. 42). Kewajiban kita adalah untuk menyembah satu Allah saja, kewajiban kita adalah mengikuti ajaran Ny. Eddy melalui tulisan-tulisannya dan mengakui kedudukannya dalam sejarah, dan kewajiban kita terhadap umat manusia adalah mengasihi setiap orang sebagai anak Allah. Inilah mutiara Ilmupengetahuan Kristen! Kita tidak bisa hanya mengucapkan kata-kata ini: Kita harus mempraktekkannya dalam kesadaran mental kita.
Sebagai pencari Kebenaran, kita tidak pernah dapat menetapkan satu cara insani yang tradisional untuk memahami Kebenaran. Namun ada satu cara rohaniah: menghargai mutiara yang sangat berharga.
Baik saya sedang bertugas sebagai penerima tamu di gereja, berjumpa rekan sekerja, atau berjalan di jalanan, tujuan saya adalah memeriksa pikiran saya tentang setiap ide, dan jika bukan berasal dari Allah, kembali kepada kelima kata-kata terdahulu: “Kemunafikan bersifat mematikan bagi agama.” Maka tidak ada yang dapat menggoda saya untuk melihat sesuatu kecuali sebab rohaniah Allah dan akibatNya, manusia yang sempurna. Betapa saya menghargai kuasa penyembuhan Ilmupengetahuan Kristen—itulah mutiara yang tidak akan pernah saya lepaskan!