Dalam keadaan sulit—atau bahkan saat semuanya baik—dapatkah kita mendengar suara Allah, seperti nabi Elia ketika mendengar bunyi “angin sepoi-sepoi basa” di gunung Horeb (1Raj 19:12)? Ya! Dalam bahasa Ibrani suara yang kecil dan halus diterjemahkan secara harfiah sebagai “suara keheningan yang lembut” (The Interpreter’s Bible, I Kings, Vol. 3, hlm. 163). Penyair Mazmur menunjukkan bagaimana kita dapat mendengar keheningan itu saat menulis, “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah!” (Mzm 46:10). Dan nabi Elia menunjukkan bahwa suara yang kecil dan halus Kebenaran ilahi dapat datang di tengah badai, pergumulan mental, atau setiap saat kita memerlukan bimbingan ilahi.
Elia telah menantang 450 nabi palsu penyembah Baal agar berseru kepada Baal untuk menyulut api di bawah lembu kurban, sebagai bukti nyata akan kuasa Baal. Ketika para nabi palsu itu tidak berhasil, Elia mengguyur kayu bakar dengan air, berseru kepada Allah agar membakar kayu itu, dan dengan segera kayu itu terbakar, dengan demikian membuktikan tanpa dapat disangkal bahwa Allah adalah satu-satunya Allah yang benar, yang menjawab doa. Para nabi palsu itu kemudian dibunuh. Raja Ahab yang mendengar tentang kejadian itu, memberitahu isterinya, Izebel, seorang penyembah Baal yang taat, dan dalam kemarahannya Izebel mengancam untuk membunuh Elia.
Izebel mengirim suruhan ke Elia, dan berkata, “Beginilah kiranya para allah menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jika besok kira-kira pada waktu ini aku tidak membuat nyawamu sama seperti nyawa salah seorang dari mereka itu.” Ketika Elia mendengar ancaman Izebel, dia lari menyelamatkan diri. Dia bersembunyi di gua ketika kemudian Allah bertanya kepadanya, "Apakah kerjamu di sini, hai Elia?" (1Raj 19:2, 9). Pertanyaan Allah itu menyimpulkan bahwa keadaan tersebut sungguh sulit dipercaya. Bagaimanapun juga, Allah baru saja menunjukkan bahwa Dia adalah satu-satunya kuasa yang ada, namun Elia,—ketika mendengar ancaman Izebel, panik dan bersembunyi dengan ketakutan. Jawaban Elia menunjukkan betapa besar ketakutan serta keputusasaan yang dirasakannya. Pada dasarnya dia berkata, Tuhan, saya telah bekerja segiat-giatnya bagiMu, dan sekarang saya akan dibunuh karena hanya sayalah satu-satunya yang masih hidup dan membelaMu (lihat 1Raj 19:14). Pikiran ini—“sayalah satu-satunya”—baik pikiran itu datang kepada seorang nabi zaman dahulu atau kepada kita saat ini, berusaha untuk mengecilkan kesejatian bahwa Allah senantiasa hadir. Meskipun banyak di antara kita pernah merasa sendiri di tengah keputusasaan, sesungguhnya kita tidak pernah sendiri, tidak pernah menjadi “satu-satunya.”
Elia begitu terperangkap dalam ketakutan sehingga ia tidak memusatkan pikiran untuk mendengar keheningan Allah yang lembut. Ia baru saja kembali dari suatu kemenangan yang cemerlang, sehingga terompet keberhasilan mungkin saja merupakan upaya pertama budi kedagingan untuk menenggelamkan suara yang kecil dan halus yang berasal dari Allah. Kemudian menyusul kegaduhan mental yang menyuarakan kegagalan yang akan segera terjadi. Tetapi Allah mengingatkan Elia, bahwa tidak ada kuasa dalam badai mental maupun fisik—meski mengambil bentuk sebagai api yang ganas atau gempa yang dahsyat—untuk menentang suara Allah atau kesejatian kebaikan. Melalui suara dalam keheningan itu, Allah memberitahukan kepada Elia apa yang perlu diketahuinya untuk menghapus ketakutannya dan membawanya keluar dari persembunyiannya. Pengalaman Elia ini sangat menghibur saat saya merasa takut atau sendiri.
Seorang teman melukiskan hal ini dengan sangat baik melalui pengalamannya baru-baru ini. Saat berkendara untuk menghadiri suatu pertemuan bisnis, ia mulai mengalami perasaan yang sangat nyeri di dadanya. Dalam kesakitan yang dahsyat, seorang diri dan ketakutan, ia menghentikan kendaraannya di pinggir jalan. Ia menelpon seorang penyembuh Ilmupengetahuan Kristen yang pertama diingingatnya dalam pikirannya. Penyembuh itu mengucapkan tiga kata yang sederhana—“Allah itu semua!”—dengan penuh kuasa, dengan begitu tegas dan keras, sehingga penyembuh itu sendiri terkejut. Sementara itu, hubungan terputus, dan saat teman saya menelpon kembali, ia sadar bahwa ia sudah sembuh sama sekali. Kejadian itu sangat sederhana dan berarti bagi mereka berdua. Penyembuh mendengarkan suara yang kecil dan halus yang membimbingnya untuk mengucapkan kebenaran rohaniah itu dengan pasti, dan kebenaran itu menyembuhkan dengan serta merta. Meskipun pengalaman tersebut menakutkan, teman saya tidak pernah benar-benar ada di luar jangkauan pertolongan Allah, karena Kebenaran ilahi, Allah, senantiasa hadir bersama kita, mengkomunikasikan ide-ide yang menyembuhkan.
Mary Baker Eddy menulis: “‘Suara yang kecil dan halus’ pikiran yang ilmiah melintasi benua dan menyeberangi samudera mencapai ujung bumi yang sejauh-jauhnya. Bagi budi insani, suara Kebenaran yang tidak kedengaran adalah ‘sama seperti singa yang mengaum.’ Suara ini didengar di gurun dan di tempat-tempat gelap ketakutan” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 559). Suara Kebenaran, tidak terdengar namun seperti singa yang mengaum! Singa mengaum untuk menyatakan identitasnya, untuk mengenali wilayahnya, dan memberitahukan kepada pihak lain bahwa dia siap mempertahankannya. Allah, tanpa dapat disangkal, memaklumkan Kebenaran dan Budi ilahi yang esa, membuktikan kesemestaan jangkauanNya, dan mendekap setiap orang dengan lenganNya. Hanya ada satu maklumat yang mahakuasa dan senantiasa hadir, itulah maklumat dari Allah. Meskipun firman Kebenaran mungkin tidak datang sebagai suara manusia, Kebenaran pasti dapat didengar. Dan, dapat didengar terutama saat kita merasa bimbang dan tidak pasti, dan saat ketakutan terasa begitu mencekam.
Beberapa tahun yang lalu, saat berkunjung ke Masai Mara di Kenya, suami saya dan saya menyaksikan auman singa yang kuat. Kami tidur di tenda, hanya dipisahkan sehelai kain terpal dari singa-singa, macan tutul, kuda nil, dan banyak binatang lain di tepian sungai Mara yang lebih rendah, yang suaranya tidak dapat kami kenali dengan pasti. Kami menerka-nerka suara binatang apa yang kami dengar, sampai timbul keheningan menjelang pagi. Kemudian, pemandu membawa kami ke tempat di mana sekelompok singa sedang tidur. Kami diberitahu, bahwa auman singa dapat didengar dari jarak 5 mil, dan suara itu dihormati dan dipahami oleh semua yang mendengarnya. Bagi kami, malam itu, suaranya terdengar seakan menggelegar di bumi. Seakan suara itu datang dari semua penjuru. Suara Allah yang tidak terdengar, mungkin tidak mempunyai asal yang kelihatan, tetapi tak dapat disangkal suara itu menegaskan setiap aspek Kebenaran yang perlu kita ketahui.
Setelah terdengar auman singa di dekat perkemahan kami, datang keheningan yang memekakkan. Demikian pula saat Allah berkomunikasi: setelah mendengar Kebenaran, penanggapan insani akan keakuan dan kesesuatuan zat dibungkam. Keheningan membawa ketenangan yang dalam, yang menandai terbitnya kesejatian rohaniah yang menyatakan kehadiran Kebenaran. Saat kita tinggal dalam keheningan komunikasi yang murni dari Allah, ketenangan serta wibawaNya yang ilahi mengenakan kepada kita pikiran yang benar, Budi Kristus, dan kegaduhan budi yang kedagingan berhenti.
Berkomunikasi dapat juga berarti “memberi tahu” (American Heritage Dictionary). Bahkan beberapa komunikasi insani yang sangat penting terjadi tanpa kata-kata—misalnya decakan, kedipan, atau pelukan hangat. Penyair Mazmur menulis tentang langit yang berkomunikasi bagai syair bisu: “Langit menceritakan kemuliaan Allah, . . . Tidak ada berita dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar; tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi” (Mzm 19: 2, 4, 5). The Interpreter’s Bible menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut: “Meskipun berita … kata, maupun suara tidak terdengar oleh telinga manusia fana, namun pikiran yang mengamatinya dapat mengenali suatu bahasa yang begitu lancar dan nyaring sehingga bergema sampai ke ujung bumi” (Psalms, Vol. 4, hlm. 102).
Keagungan Allah bergema, bukan melalui gelombang suara, melainkan melalui naluri penanggapan rohaniah, dan hal itu dipahami “sampai ke ujung bumi.” Ini merupakan suatu komunikasi yang sangat nyata dan membuat kita rendah hati. Ny. Eddy menulis, “Dalam perhubungan di antara Allah dengan manusia, pikiran selalu datang dari Allah kepada ideNya, manusia” (Ilmupengetahuan dan Kesehatan, hlm. 284). Kata di antara atau inter dalam bahasa Inggris yang berarti “saling,” menyiratkan bahwa saat Allah berbicara kepada kita, kita berperan dalam perhubungan ini. Saat kita berusaha untuk mendiamkan suara budi fana dalam pikiran kita, kita menjadi cukup tenang untuk mendengar kepenuhan ide Allah di sekeliling kita. Mendengarkan secara aktif merupakan bagian yang sangat perlu dalam komunikasi yang efektif. Seseorang pernah berkata bahwa kita memiliki dua telinga dan satu mulut, dan ini menunjukkan bahwa kita harus mendengarkan dua kali lebih banyak daripada berbicara. Hal inipun dapat berlaku untuk berbicara dan mendengarkan secara mental!
Sengaja mendengarkan berarti cukup menyatakan kerendahan hati serta rasa hormat agar dapat menyerap kearifan serta intuisi rohaniah yang datang dari yang Ilahi. Ada dua bagian dalam perhubungan di antara kita dengan Kebenaran. Kitab Suci mengatakan: “kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh 8:32). Dengan cara mengetahui, mengakui, Kebenaran, maka komunikasi yang aktif dan hidup dengan Kebenaran akan membawa kesembuhan. Sangatlah penting untuk tidak berkecil hati, apa pun yang ditampilkan pancaindera kebendaan—tidak terpengaruh oleh keadaan jasmaniah yang kurang baik atau bencana yang mengerikan—karena ide-ide yang menyembuhkan datang dari suara Kebenaran yang kecil dan halus, yang berbicara kepada kesadaran kita, sebagaimana suara itu datang kepada Elia. Dalam perhubungan timbal balik dengan Kebenaran ini, kita mengetahui dengan pasti apa yang perlu kita ketahui agar mengalami kesembuhan, baik keperluan itu besar atau kecil.
Seorang teman menceriterakan betapa Allah membimbingnya dengan begitu rinci, saat ia bersepeda mengelilingi Amerika Serikat. Ia banyak berdoa dan bekerja secara metafisis sebelum melakukan perjalanan tersebut. Ketika mengayuh pedal di jalan berbukit di pelosok Pennsylvania sekitar 20 mil dari kota kecil terdekat, penyangga sadelnya patah. Ia berpikir bahwa di kota berikutnya tidak ada toko sepeda, dan kalaupun ada, kemungkinan tidak mempunyai onderdil bikinan Inggris yang diperlukannya. Ia mengatakan bahwa satu-satunya pilihannya adalah bergantung sepenuhnya kepada Allah, karena tidak ada jalan lain.
Ia menertawakan diri sendiri karena telah membawa begitu banyak onderdil dan peralatan, tetapi ternyata ia mengalami sesuatu yang tidak pernah diduganya. Maka ia mencoba mengayuh sepedanya tanpa duduk di sadel. Ternyata hal itu jauh lebih sulit dari perkiraannya. Saat berdoa untuk mengetahui apa yang harus dilakukannya, timbul ide untuk mencari bengkel yang dapat mengelas sadelnya, di kota berikutnya. Saat itu ia melihat suatu bengkel besar yang menyediakan jasa perawatan truk semi-trailer yang besar, dan merasakan suara Allah yang kecil dan halus memerintahkannya untuk berhenti. Tukang las di situ mengatakan bahwa karena gagang sadelnya terbuat dari aluminium maka perlu pengelasan khusus. Dan tukang las itu menambahkan bahwa dialah satu-satunya dalam radius 100 mil yang dapat melakukannya. Suara yang kecil dan halus telah menunjukkan kepada teman saya suatu penyelesaian dengan cara yang spesifik—bukan mengganti sadel, tetapi mengelas gagang sadel—di saat dan di tempat teman saya memerlukannya!
Setiap orang di antara kita dengan pasti dapat berhubungan dengan Allah. Suatu saat dalam hidup kita, saya yakin kita semua pernah mendengar auman Kebenaran yang tidak dapat disangkal, yang diikuti dengan komunikasi yang spesifik dan ilmiah dari Allah, dalam salah satu bentuk dan dalam berbagai taraf. Sebanding kita makin memahami kesemestaan Allah serta ketidakberdayaan sesuatu yang tidak menyerupai Allah, dan kalau kita membiasakan diri untuk mendiamkan pemikiran yang bersifat fana dan kebendaan, maka pasti kita dapat mendengar suara kecil dan halus Kebenaran, dan meskipun badai mengamuk, tetap teguh berdiri untuk menemukan kesembuhan.