Pada bulan September 2009 saya mengalami rasa tidak nyaman di bagian belakang bahu saya. Pada mulanya saya berpikir telah meregangkan tubuh dengan cara yang salah dan ketidaknyamanan itu akan segera berlalu. Keesokan harinya keadaannya memburuk. Saya tidak dapat duduk karena mengalami rasa sakit yang hebat.
Sejak kecil, kalau menghadapi masalah, saya selalu berpaling kepada Ilmupengetahuan Kristen untuk mengatasinya dan saya telah mengalami banyak kesembuhan. Oleh karena itu saya menelpon seorang penyembuh. Tanggapannya yang penuh kasih membantu menenangkan kepanikan saya.
Saya mulai bekerja dengan konsep rohaniah tentang bangunan, seperti dijelaskan dalam buku Ilmupengetahuan dan Kesehatan karangan Mary Baker Eddy. Alkitab menyatakan bahwa kita semua adalah ciptaan Allah dan bahwa Allah adalah Kebenaran dan Kasih. Saya berpikir bahwa Pencipta saya, Kebenaran dan Kasih, tidak akan pernah menciptakan rasa sakit atau ketidakselarasan, hanya apa yang benar dan bersubstansi. Oleh karena itu saya, sebagai gambar Allah, dapat menegaskan bahwa saya tidak dibangun dari zat. Saya tidak pernah berasal dari tulang, syaraf, atau bangunan kebendaan yang lain. Sesungguhnya, zat tidak memiliki ruang atau tempat berpijak dalam wujud saya. Saya—setiap bagian dari diri saya—sebagai anak Allah, berasal dari Asas. Ini merupakan fondasi yang kuat, tidak berubah dan bersifat abadi. Saya dapat bersandar pada kebenaran ini.
Rasa sakit itu sedikit berkurang saat saya berdiri atau berbaring, dan karena saya tidak dapat mengangkat atau meregangkan lengan saya tanpa merasakan nyeri, saya memutuskan untuk mengambin tangan saya dengan kain.
Saya terus berdoa dan tekun bekerja dengan penyembuh itu, berbicara dengannya setiap hari. Pada waktu itu pikiran yang terkandung dalam kalimat berikut: “Allah Ibu-Bapa yang terkasih, b’rilah hati yang melihat” (lihat Buku Nyanyian Ilmupengetahuan Kristen, no 85), menjadi doa yang menemani saya terus-menerus.
Suatu kali, penyembuh minta saya menuliskan apa Hidup (Allah) itu dan apa yang tidak merupakan hidup. Saya membuat dua daftar: pertama “Hidup adalah” (karenanya hidup saya adalah). Saya menuliskan ide-ide seperti bersukacita, dari Roh, puas, bahagia, tetap, fleksibel, kuat, tanpa sakit, baik. Dan dalam daftar kedua yang berjudul, “bukan Hidup” (karenanya hidup saya tidak), saya menulis: emosional, merasa sakit, tidak seimbang, kekurangan, dalam zat, tidak berdaya, menjadi frustasi. Akhirnya saya mendapat dua daftar yang panjang dan kesadaran yang lebih baik bahwa Hidup saya adalah Allah, kebaikan saja.
Selain itu, dari pembicaraan kami saya menyadari bahwa secara pribadi saya merasa bertanggungjawab dan khawatir atas kesejahteraan anggota keluarga saya. Rasa tanggungjawab yang palsu ini harus saya lepaskan, angkat dari pundak saya. Suatu kisah yang menceriterakan Yesus berjalan di atas air menjadi terang bagi saya. Saat Yesus mendekati perahu di mana para muridnya berada, Petrus berkata, “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.” Dan Yesus pun berkata, “Datanglah” (Mat 14:28, 29).
Maka Petrus datang kepada Yesus, berjalan di atas air. Saat dia sadar bahwa laut bergelora, dia menjadi takut dan mulai tenggelam dan berseru kepada Yesus untuk menyelamatkannya. Tanggapan Yesus serta merta. Dia mengulurkan tangannya dan mengangkat Petrus. Kemudian dia naik ke perahu bersama mereka. Yesus tidak memerlukan perahu untuk tiba di tempat yang ditujunya. Tetapi dia memilih untuk naik ke perahu bersama mereka. Saya sadar bahwa Kristus “ada di dalam perahu” bersama setiap anggota keluarga saya. Meskipun beberapa pengalaman hidup mereka mungkin penuh badai, tanggapan Kristus senantiasa tersedia, dan saya dapat menyerahkan keluarga saya kepada penjagaan Kristus, kebenaran dan kasih Allah yang menyembuhkan.
Tanggungjawab saya terhadap mereka tidak mencakup perasaan seakan sayalah yang menentukan apa langkah berikutnya yang harus mereka ambil atau mencegah mereka agar tidak gagal atau jatuh. Saya berhenti untuk mencampuri kehidupan mereka. Saat kekhawatiran datang ke dalam pikiran saya, dengan tegas saya menyatakan bahwa Kristus bersama mereka. Hal ini memberi saya rasa damai dan sukacita yang besar. Saya juga melihat teladan Yesus dalam menangani masalah keluarga. Hal ini menyadarkan saya bahwa tanggungjawab saya yang sesungguhnya terhadap anggota keluarga adalah untuk melihat bahwa mereka dikasihi Allah Ibu-Bapa kita, dan bahwa mereka juga terbuka dan mudah mengikuti kehendakNya.
Setiap minggu saya mengalami kemajuan dalam menggerakkan lengan dan tangan saya, tetapi pundak saya tetap terasa sakit. Penyembuh menganjurkan agar saya menuntut kuasa yang dikaruniakan Allah kepada saya dan bersikap senormal mungkin. Sedang saya mendapatkan pandangan yang lebih rohaniah tentang jati diri saya, saya dapat melepaskan kain pengambin. Saya tidak melihat ke belakang, tetapi menyerahkan semua pemeliharaan kepada Allah.
Sementara itu saya dengan penuh rasa syukur mendengarkan pembacaan artikel dan nyanyian dari CD yang tersedia di Ruang Baca Ilmupengetahuan Kristen dan membaca majalah Sentinel dan The Christian Science Journal. Selama hari-hari itu, meskipun kesakitan, saat saya ikut bernyanyi dan merenungkan artikel-artikel tersebut, saya merasa sangat terhibur dan diilhami.
Dalam salah satu artikel, saya membaca pernyataan Einstein: “Saya ingin mengetahui pikiran Allah.” Ini menjadi bentuk doa lain yang sangat dekat di hati saya. Saya hanya ingin mengetahui pikiran Allah, yang penuh damai, sukacita, kuasa. Saya menuntut bahwa saya hanya dapat memiliki kesadaran Kasih. Saya tahu bahwa rasa sakit, kekhawatiran, penyakit, tidak memiliki tempat dalam kesadaran itu. Saya tidak pernah dapat dipisahkan dari kesadaran Budi. Setiap hari saya berdoa, memegang teguh kebenaran-kebenaran tersebut saat demi saat.
Suatu hari saya menyadari bahwa saya telah mengabaikan suatu ketakutan yang harus saya hadapi. Ketakutan ini adalah bahwa seseorang akan masuk ke rumah dan mencederai saya saat suami melakukan perjalanan dinas yang lama dan saya sendirian di rumah. Saya menceriterakan hal ini kepada penyembuh.
Penyembuh itu mengatakan, Kasih, atau Kebenaran, atau Hidup, tidak dapat dibobol dan karena itu tidak ada yang dapat membobol dan mencederai saya. Saat itu saya sadar bahwa tidak sesuatu pun berada “di luar” Budi yang tidak berhingga. Bagaimana mungkin suatu kejahatan “membobol” atau memasuki pikiran Allah? Saya dapat melihat bahwa hal itu tidak mungkin.
Sesudah itu saya dapat menggerakkan lengan dan tangan saya dengan bebas, dan saya tahu bahwa penyembuhan itu sudah dekat. Penyembuh menegaskan bahwa Allah tidak memerlukan waktu untuk membuktikan kesempurnaan dalam diri saya.
“Sesungguhnya, waktu ini adalah waktu perkenanan itu” (2Kor 6:2). Saya benar-benar percaya akan hal itu dan dengan rendah hati mohon kepada Allah untuk menunjukkan jalan untuk maju. Meskipun sudah tidak merasa sakit, hanya kadang-kadang merasa kaku di pundak, saya sulit melupakannya, dan saya tidak ingin keadaan itu kembali lagi.
Doa saya dijawab melalui suatu perasaan kasih yang kuat, kesadaran yang muncul bahwa Allah Ibu-Bapa saya menyertai saya, sebagaimana diutarakan kata-kata, “Air matamu hapuskan,” mengisi pikiran saya (Mary Baker Eddy, Nyanyian no 298). Dengan kewibawaan Alkitab saya menyatakan bahwa pikiran tentang rasa sakit tidak memiliki kuasa, “atau hak dan tidak akan diingat” dalam ingatan saya (Neh 2:20).
Saya sembuh sama sekali dari sisa-sisa rasa tidak nyaman dan dari kekhawatiran bahwa keadaan itu akan kambuh. Sekarang lebih dari satu tahun telah berlalu dan kesembuhan itu bersifat permanen. Tindakan untuk berjalan maju dengan penuh rasa syukur, sambil mengakui keselaluhadiran Kasih dan Allah sebagai satu-satunya yang bekerja, menghapuskan air mata ingatan fana yang sesat.